EKONOMI RAKYAT DAN EKONOMI KERAKYATAN GENESIS DAN PERKEMBANGANNNYA


[Oleh: Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo] 

Seorang tokoh teknokrat dan ekonom dari FE-UI, Sri Mulyani Indrawati, pernah mengeluarkan pendapat, bahwa istilah "ekonomi rakyat" dan "ekonomi kerakyatan" itu tidak dikenal dalam literatur ilmu ekonomi. Padahal ahli ekonomi, peraih Hadiah Nobel, Paul A. Samuelson, dalam buku teksnya yang terkenal "Economics", pernah mengemukakan istilah "people's capitalism". Istilah itu dikeluarkan untuk menghilangkan kesan bahwa Kapitalisme itu berkaitan dengan pelaku-pelaku ekonomi perusahaan-perusahaan monopolistik. Padahal dalam realitasnya, perusahaan-perusahaan besar itu sudah menjual saham kepada masyarakat, sehingga suatu perusahaan besar bisa dimiliki oleh jutaan pemegang saham di kalangan rakyat jelata. Dalam istilah "Kapitalisme Rakyat" itu sebenarnya terkandung pengertian mengenai "ekonomi rakyat", karena istilah itu disebut dalam kaitannya dan dilawankan dengan istilah "monopoly capitalism" atau "state capitalism". Kedua istilah itu menunjuk pada pelaku ekonomi, yang pertama adalah rakyat sedangkan yang kedua adalah perusahaan-perusahaan besar yang telah menjadi kekuatan monopolistik dalam perekonomian suatu bangsa atau dunia, yang mulai nampak menonjol pada awal abad 20, sebagaimana ditulis oleh Richard Chamberlin dalam disertasinya.

Sebenarnya gagasan mengenai ekonomi rakyat itu sudah tersirat dalam buku Adam Smith "The Wealth of Nation" (1976) yang disepakati sebagai tahun lahirnya ilmu ekonomi, sebagai suatu disiplin ekonomi makro. Gagasan tentang ekonomi rakyat tersirat dari pengertian pelaku-pelaku ekonomi individu, yang dilawankan dengan negara sebagai pelaku ekonomi dalam perdagangan antar bangsa atau perdagangan jarah jauh (long distance trade) dalam sistem ekonomi Merkantilisme.

Dalam sistem Merkantilisme, sumber kekayaan suatu bangsa adalah keuntungan dari perdagangan. Dalam sejarah perekonomian dunia, pembentukan modal secara besar-besaran di negara-negara yang sekarang disebut maju terlebih dahulu itu, terjadi pada masa Kapitalisme Komersial atau Perdagangan. Namun Adam Smith berpendapat lain, baginya yang menjadi sumber kekayaan suatu negara adalah kegiatan produksi yang dilakukan oleh individu-individu anggota masyarakat, melalui sistem pembagian kerja (devition of labour). Yaitu apabila setiap individu diberi kesempatan bebas untuk melakukan kegiatan ekonomi, sebagaimana tersimpul dalam semboyan "laisez fare, laissez passer" yang merupakan simbol dari kebebasan ekonomi (economic liberalism). tapi Robert Hessen berpendapat, bahwa Kapitalisme adalah salah sebut (misnomer). Baginya istilah yang benar dari sistem ekonomi itu adalah "individualisme ekonomi". Jika diucapkan dalam konteks Indonesia sekarang, maka semboyan itu dapat diterjemahkan secara bebas sebagai "biarkan ekonomi rakyat bebas berkembang", karena ekonomi rakyat adalah sumber kekayaan bangsa. Perekonomian bebas itu dilatar belakangi oleh kondisi perekonomian yang bersifat atomistis, sebagaimana dikatakan oleh Heilbroner, yaitu yang terdiri dari banyak pelaku ekonomi individual.

Berdiskusi disela acara
Analog dengan analisis itu adalah ketika pada awal dasawarsa '90, dalam suatu Munas Golkar di Ujung Pandang, Mubyarto, gurubesar FE-UGM mengeluarkan pandangannya mengenai "ekonomi rakyat" dan "ekonomi konglomerat". Pada waktu itu, di Indonesia sedang beredar wacana publik yang membahas gejala timbulnya konglomerasi.

Pandangan Mubyarto ketika itu mendapat reaksi langsung dari puteri Presiden Suharto yang tokoh Golkar dan sekaligus juga dikenal sebagai pengusaha konglomerat. Dalam tanggapannya ia berkeberatan dengan penggunaan istilah "ekonomi rakyat" yang dilawankan dengan "ekonomi konglomerat". Sebab, ia sebagai pengusaha besar, adalah juga rakyat Indonesia dan tidak boleh didiskriminasi. Setelah dibentuk panitia perumus yang diketuai oleh Fahmi Idris, yang juga pengusaha besar itu ternyata, istilah ekonomi rakyat tidak disebut, guna menghindari keberatan puteri Presiden itu terhadap stigmatisasi terhadap istilah "konglomerat' yang dianggap bukan rakyat itu. Apalagi, istilah "rakyat" mengandung konotasi komunis padahal istilah rakyat yang dimaksud adalah rakyat kecil, petit peuple (bahasa Perancis).

Dengan demikian, maka istilah "ekonomi rakyat" dinilai berkonotasi ideologis dan politis. Karena itu maka kalangan birokrasi pada waktu itu berusaha mencari istilah padanannya dalam kamus ekonomi. Ketemunya adalah istilah "usaha kecil dan menagah" (UKM) yang dalam literatur ekonomi tampil dalam istilah "small and medoium nterpreise" (SME) atau di AS lazim disebut sebagai "small business" . Di negara liberal itu usaha kecil merupakan simbol ekonomi liberal. Di AS sendiri dalam Laporan Presiden Ronald Reagand tahun 1974, disebut bahwa jumlah usaha kecil dalam unit diperkirakan mencakup 70%, di Indonesia sendiri usaha kecil memang hanya 5% tetapi usaha skala mikro yang lebih kecil lagi mencakup 93%. Gejala itu sebenarnya bukan hanya khas AS, yang dikenal memiliki banyak perusahaan-perusahaan besar dan multi-nasional. tetapi merupakan gejala universal. Agaknya wacana inilah yang melatar-belakangi pernyataan Sri-Mulyani Indrawati yang ekonom, yang menyatakan pendapat bahwa istilah "ekonomi rakyat" itu bukanlah istilah ekonomi, karena yang dikenal sebagai istilah ekonomi adalah "usaha kecil".

Padahal istilah ekonomi rakyat atau yang berpredikat "rakyat" sudah lama dikenal di Indonesia, bahkan istilah "rakyat" atau "pribumi" itu adsalah istilah resmi yang dipakai di kalangan birokrasi, dengan istilah Belanda "volks" atau "inlander". Bahkan istilah itu dipakai oleh Sumitro Djojohadikusumo dalam disertasinya menganai "Volkscredietwezen in de Depretie" (1942). Istilah "rakyat" itu dipakai juga sebagai nama bank di masa kemerdekaan yaitu "Bank Rakyat Indonesia' yang berasal dari gabungan lembaga-lembaga perkreditan rakyat, "Algemeene Volkscredietbank" yang dibentuk pada tahun 1933.

Ketika istilah "ekonomi rakyat" dihindari, oleh kalangan birokrat, karena berkonotasi politik. Sebagai penganut sistem ekonomi liberal, usaha kecil tidak hanya dilindungi oleh UU, tetapi juga diberi iklim "usaha masuk" sehingga disusun "Small Business Act". Mengikuti AS itu maka di Indonesia juga dikeluarkan UU No. 9/1995 tentang "Usaha Kecil". Sejak itu, maka yang lebih banyak disebut secara resmi, baik di kalangan birokrasi pemerintahan maupun akademi, adalah "Usaha Kecil dan Menengah". Nama Departemen Koperasipun mulanya ditambah dengan istilah "Pengusaha Kecil dan Menengah" (PKM) yang kemudian diganti dengan istilah Usaha Kecil dan Menengah (UKM). "Kamar Dagang dan Industri Indonesia" (KADIN) pun juga mencantumkan pemberdayaan "UKM" sebagai program kerjanya.

Selain istilah "rakyat" yang kemudian ditinggalkan adalah istilah "pribumi" (inlander). Selain berkonotasi merendahkan dalam konteks penjajahan Hindia Belanda, juga berkonotasi diskriminatif terutama kepada pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang kuat ekonominya. Sofyan Wanandi, seorang pengusaha keturunan Cina, kemudian mengusulkan istilah "pengusaha ekonomi lemah" yang sebenarnya juga berkonotasi merendahkan kemartabatan kaum pribumi Indonesia.

Istilah "Ekonomi Rakyat" sebagai pelaku ekonomi, pertama kali ditulis oleh Bung Hatta dalam artikelnya pada tahun 1931 di koran "Daulat Rakyat”, organ Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Hatta. Dalam artikel itu, Hatta menunjuk ekonomi rakyat sebagai pedegang kecil yang berasal dari kaum migran penduduk perdesaan yang telah meninggalkan profesinya sebagai petani. Tapi Hatta berpendapat bahwa pedagang kecil itu tidak akan mampu bersaing dengan pedagang besar yang sudah mapan dari kalangan keturunan Cina dan perusahaan Belanda. Karena itu ia menganjurkan agar, dengan modal yang mereka miliki, para pedagang itu membentuk koperasi produksi.

Tapi pada tahun 1934 Bung Hatta menulis lagi artikel yang berjudul "Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya", karena terhimpit oleh beberapa faktor dalam perekonomian kolonial, yaitu sewa tanah yang besar, suku bunga pinjaman yang tinggi dari para pembunga uang dan pajak. Ekonomi rakyat yang ia sebut itu dilawankannya dengan ekonomi kolonial kapital yang kuat modalnya.

Dari tulisan Hatta itu nampak nuansa politik yang termuat dalam istilah ekonomi rakyat, karena dilawankan dengan ekonomi kapitalis penjajah. Teori Hatta itu diungkapkan kembali oleh Sritua Arief yang berpendapat bahwa bahaya yang masih sama dihadapi oleh ekonomi rakyat di zaman Orde Baru yang dikuasai oleh modal asing itu. Wacana inilah yang melatar belakangi dipertahankannya istilah ekonomi rakyat dan ekonomi rakyat yang harus diberdayakan oleh Pemerintah. Dari sini lahir TAP MPR No. XVI/MPR/1998, tentang "Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi" dan TAP MPR. No. IV/MPR/1999 tentang GBHN yang menyatakan bahwa sistem konomi Indonesia adalah Sistem Ekonomi Kerakyatan serta UU No. XV/2000 tentang Program Pembangunan Nasional. Dalam ketiga UU itu termuat pedoman kebijakan untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Dengan demikian, maka Ekonomi Kerakyatan sebagai politik ekonomi, sudah menjadi istilah resmi sehingga bisa menjadi obyek kajian Ekonomi Tradisional, Ekonomi politik dan Ekonomi Pembangunan. Sejak itu telah muncul banyak buku yang berisi kajian teoritis maupun konsepsional tentang ekonomi rakyat dan ekonomi kerakyatan. 

Sunggunpun demikian, tanpa menunggu pengakuan legal formal, istilah ekonomi rakyat masih terus dipertahankan oleh Mubyarto dalam kajian dan penelitian ilmiahnya. Ketika diangkat menjadi Penasehat Ketua Bappenas, Ginandjar Kartasasmita, ia menerjemahkan program Kaji Tindak Desa Tertinggal dalam Inpres Desa Tertinggal (IDT) 1994 dengan program kaji tindak (action research) pemberdayaan Ekonomi Rakyat, sehingga menghasilkan laporan mengenai kondisi dan permasalahan Ekonomi Ekonomi Kerakyatan di berbagai daerah, seperti Riau, Kalimantan Timur, Nganjuk dan Gunung Kidul sebagai wujud dari Ekonomi Pancasila.

Pada waktu itu sebelum Mubyarto, Sarbini Sumawinata, guru besar FE-UI, telah menulis pada tahun 1985 dalam jurnal "PRISMA" suatu gagasan yang bertajuk "Ekonomi Kerakyatan" dan buku "Politik Ekonomi Kerakyatan" sehingga dapat disimpulkan bahwa Ekonomi Kerakyatan itu adalah suatu konsepsi atau teori mengenai kebijakan publik. Gagasan itu ia kemukakan dalam tanggapannya mengenai pemikiran Mubyarto tentang "Ekonomi Pancasila" yang dikemukakan dalam acara Dies Natalis FE-UGM pada tahun 1980. Baginya gagasan Ekonomi Pancasila itu tidak jelas. Sementara itu Arief Budiman juga punya penilaian yang sama. Argumennya adalah bahwa gagasan Ekonomi Pancasila itu tidak memiliki landasan konsepsi mengenai manusia. Pandangan dasar mengenai manusia dalam Liberalisme Ekonomi jelas, yaitu konsep homo-economicus yang memaksimalkan keuntungan. Demikian pula konsep manusia dalam Sosialisme, yaitu homo-socious. 

Kritik itu dijawab oleh Boediono, bahwa konsep manusia dalam Ekonomi Pancasila tidak bersifat tunggal dimensi melainkan multi-dimensi, yaitu homo economicus, homo sociocus, homo eticus dan homo-religious. 

Berkaitan dengan itu, ahli ekonomi Belanda, J.H. Boeke, dalam disertainya tahun 1911, menulis perbedaan motif ekonomi antara kaum pribumi, yaitu rakyat Hindia Belanda, dan motif ekonomi orang Eropa. Jika motif ekonomi orang Eropa didasarkan pada kepentingan ekonomi (economic interest), maka motif ekonomi, yaitu berproduksi untuk pasar guna mencari keuntungan, maka motif ekonomi kaum pribumi adalah kepentingan sosial (social interest) yaitu memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya pangan. Perbedaan motif itu menimbulkan konsekuensi di bidang usaha. Jika para pengusaha ekonomi dalam mencari keuntungan itu mengusahakan perkebunan besar yang berorientasi pada ekspor, maka kaum pribumi menanam padi atau singkong, umbi-umbian jagung dan bahan-bahan makanan lainnya. Dari teori Boeke itu dapat ditarik kesimpulan bahwa perekonomian rakyat itu adalah perekonomian pangan, sedangkan perekonomian orang Eropa adalah pekebunan besar.

Sungguhpun, tesis Boeke itu tidak sepenuhnya benar. Ketika, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan program pemindahan penduduk dari daerah padat penduduk, yaitu Jawa, Madura dan Bali, ke luar Jawa yang jarang penduduknya tetapi kaya dengan sumberdaya alam, khususnya pertanian, atau yang disebut program transmigrasi itu, maka para trasmigran itu dipekerjakan sebagai buruh perkebunan. Dari situ mereka belajar berkebun sehingga setelah trampil, mereka membuka perkebunan skala kecil secara individual, yang kemudian disebut sebagai "perkebunan rakyat". Disini mulai dikenal istilah "perkebunan" sebagai salah satu bidang kegiatan ekonomi rakyat, disamping "pertanian rakyat" yaitu pertanian pangan. Kemudian di Jawa, khususnya di sekitar kota kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, berkembang pula industri "kerajinan rakyat". Pemerintah Hindia Belanda sendiri juga menyediakan anggaran untuk dipinjamkan kepada petani, sehingga dikenal pula sub-sektor "perkreditan rakyat". Sehingga bidang apa saja yang dikerjakan oleh rakyat pribumi, diberi predikat "rakyat", misalnya "peternakan rakyat", "perikanan rakyat", "pertambakan rakyat" . Kesemuanya itu tercakup ke dalam pengertian "perekonomian rakyat".

Gejala itu memang tidak dibahas dalam teori ekonomi, tetapi gambaran dari gejala itu ditulis oleh J. Burger dalam bukunya "Ekonomi Sosiologi'. Dan akhir-akhir ini juga dilakukan penelitian dalam ilmu antropologi ekonomi'' yang membahas mengenai etos kerja dan semacamnya atau dalam sosiologi berkembangan juga "ekonomi gender".

Istilah "ekonomi kerakyatan" juga tidak dijumpai dalam literatur ilmu ekonomi tradisional, tetapi dibahas dalam ekonomi-politik (political economy), karena menyangkut strategi atau kebijakaan ekonomi yang melibatkan unsur kuasa atau otoritas. Pemikiran mengenai "ekonomi kerakyatan" yang didefinisikan oleh Sarbini Sumawinata sebagai konsep trategi tentang cara-cara pemberantasan kemiskinan itu, dapat digolongkan sebagai kajian ekonomi-politik atau lebih lanjut ekonomi pembangunan, dalam kategori Michael Todaro dalam buku teksnya yang berjudul "Economic Development" (2006). Gejala ekonomi rakyat sendiri hanya bisa dipahami dengan baik melalui analisis kalaedoskopik, karena merupakan gejala yang kompleks.

Istilah "ekonomi kerakyatan" versi Sarbini sendiri sebenarnya merupakan perkembangan pemikiran dari gagasan "Sosialisme Kerakyatan" yang dikembabangkan oleh pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sutan Sjahrir. Karena istilah "sosialis" di masa Orde Baru mulai dihindari, sejak penggantian istilah "Sistem Ekonomi Sosialis" menjadi "Sistem Ekonomi Pancasila" oleh Emil Salim pada tahun 1966, maka istilah "sosialis" juga ditinggalkan olah Sarbini.

Dalam gagasan Sarbini, Ekonomi Kerakyatan adalah konsep trategi mengenai pemberantasan kemiskinan yang merupakan aspirasi sosialis. Kebijakan ekonomi kerakyatan dalam pemikiran Sarbini terdiri dari empat komponen program. Pertama program pembangunan prasarana perdesaan yang bersifat padat karya sehingga menciptakan lapangan kerja yang banyak. Kedua, adalah industrialisasi perdesaan. Ketiga monetisasi perdesaan melalui kredit program. Dan keempat pengunaan teknologi tepat guna, baik yang sederhana maupun tinggi semisal. K tekonologi informasi. Kesemua program itu dibiayai melalui anggaran Negara.

Padahal, Sosialisme Kerakyatan gagasan Sjahrir itu, justru menghindarkan diri dari peranan negara. Dengan perkataan lain, Sosialisme Kerakyatan adalah sebuah gagasan mengenai "sosialisme liberal", sebagaimana pernah dikatakan oleh Rachman Tolleng. Sjahrir memulai gagasan itu dari kritiknya terhadap Sosialisme Negara di Zaman Lenin dan terutama Stalin. Sementara itu Ekonomi Kerakyatan adalah suatu program pemerintah. Dengan demikian, maka gagasan Ekonomi Kerayatan Sarbini tidak sejalan dengan gagasan Sosialisme Kerakyatan Sjahrir. 

Walaupun gagasan Ekonomi Kerakyatan itu dimaksudkan sebagai gagasan tandingan terhadap gagasan Ekonomi Pancasila Mubyarto yang dinilai tidak jelas, tetapi istilah itu tidak ditolak dan bahkan dipakai oleh Mubyarto sebagai wujud kongkret Ekonomi Pancasila. Tetapi Ekonomi Kerakyatan menurut Mubyarto adalah ekonomi yang hidup di kalangan rakyat sehingga lebih sesuai dengan gagasan Sosialisme Kerakyatan Sjahrir. Berbeda dengan gagasan Sarbini yang merupakan program pemerintah, maka gagasan Mubyarto adalah gerakan rakyat, dengan ciri utamanya, berhimpun dalam koperasi sebagaimana dianjurkan oleh Hatta sejak 1931. 

Dengan demikan, dewasa ini telah berkembangan dua aliran utama mengenai Ekonomi Kerakyatan. Pertama adalah aliran "membangun ekonomi kerakyatan" sebagai imperasi UU yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah, Kedua adalah aliran "Ekonomi Rakyat Membangun" yang merupakan gerakan sosial-ekonomi. 

Ekonomi Rakyat dapat diredefinisikan sebagai pelaku ekonomi yang membangun perekonomian nasional atas dasar tiga prinsip kemandirian. Pertama, kemandirian modal yang dapat dilakukan berdasarkan anjuran Bung Hatta, proses pembentukan modal melalui koperasi simpan pinjam. Kedua adalah kemandirian teknologi, yaitu dengan mempergunakan teknologi tepat guna hasil temuan perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian dan temuan-temuan kaum techno-preneur. Dan ketiga adalah kemandirian pasar melalui peningkatan daya beli masyarakat sebagaimana dianjurkan oleh Bung Hatta. 

Andalan Indonesia, dalam teori keunggulan komparatifnya adalah sumberdaya alam, baik darat maupun laut. [Jkt 17062015]

*Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
**Disampaikan pada ORASI ILMIAH Dies Natalis Ke-4 Fakultas Ekonomi UNY. Senin, 22 Juni 2015.