KRISIS KEPEMIMPINAN DI DUNIA ISLAM.

Dunia Islam dewasa ini berada dalam satu dan lain bentuk krisis kepemimpinan yanmg bersifat plural itu. Dunia Islam itu sendiri  sering diidentikan dengan Dunia Arab. Tetapi Dunia Islam itu sesungguhnya lebih luas dari Dunia Arab yang mencakup kawasan Arab maupun Non-Arab, seperti misalnya Bangladesh, Pakistan. Afghanistan  dan Iran di sebelah timur, Sudan, Ghana dan Chad di sebelah selatan, Turki di sebelah Utara, serta Somalia dan Nigeria di sebelah  barat. Gejala krisis kepemimpinan itu paling tidak ditandai dengan pergolakan politik yang berkepanjangan di satu pihak, dan dominansi rezim otoriter di lain pihak. Sementara itru rezim  otoriter yang  mengemnuka adalah rezim monarki-feodal dan rezim militer . Tetapi kedua-duanya merupakan rezim praetrorian  yang memimpin suatu masyarakat yang berada dalam situasi konfflik dan kekacauan ( al dar al harb).

Masyarakat Arab pra-Islam sering disebut sebagai masyarakat jahiliyah. Dalam teori filsafat socsal, menurut Emmanuel Kant, dapat disebut sebagai masyarakat barbar, yaitu masyarakat yang tidak mengenal hukum dan tidak mengenal kebebasan, sehingga otoritarianisme dianggap sebagai hal yang wajar. Kedatangan Islam mula-mula memperkenalkan sistem hukum yang komprehensif, tidak saja mencakup bidang kepercayaan dan peribadatan, tetapi juga sosial, ekonomi dan politik. Kedatangan  Islam melahirfkan perubahan yang fundamental yang melahirkan jenis masyarakat baru yaitu masyarakat yang mengenal hkum maupun kebebasan yang mermbentuk Negara Rerpublik Madin ah, berrdasarkan  konstitusi yang disusun berdasarkan suatu musyawarah di antara para pemimpin masyarakat yang menghasilkan suatu kesepakatan atau kesepahaman  atau dalam teori sosial disebut sebagai kontrak sosial  (social contract)  dalam bentuk konstitusi yang dikenal dalam sejarah Robert N. Bellah (1927-2013), sebagai “Konstitusi Madinah”. Menurut penilaiannya “Konstutusi Madinah adalah sangat modern pada zamannya atau suatu gagasan yang melampaui zaman sehinga di zaman modern ini menjadi suatu nostalgia yang oleh kaum modernis ingin  ditnegakkan kembali secara kontnekstual.

Hanya saja masyarakat badui aau nomaden pengelana padang pasir itu ternyata lebih mengenal kebebasan dari pada hukum, sehingga yang terbentuk adalah masyarakat anarki. Tandanya adalah masih berkecamuknya pertentangan antar individu di antara tokoh-tokoh dan kelompok khususnya antara komunitas Muslim dan Yahudi atau antara komunitas Bani Hasyim dan Mu’awiyah dan pelanggaran pelanggaran UU, misalnya oleh kaum Yahudi dan orang-orang munafiq.  Kebebasan itu dalam filsafat sosial Thomas Hobbes (1588-1679) disebut sebagai masyarakat “homo homini lupus” (manusia menganggap manusia sebagai serigala bagi yang lain) sehingga timbul rasa ketakutan yang mngekang kerbebasan warga masyarakat. Dalam masyarakat seperti itu merreka akan sepakat untuk membentuk suatu kekuaasaan Leviathan yaitu makhluk raja laut yang melambangkan kekuasaan absolutist yang pada abad 16 masih diwujudkan dalam bentuk monarki feudal. Dengan demikian maka masyarakat barbar atau anarki akan menimbulkan pola kepemimpinan otoriter sebagaimana nampak di Dunia Islam khususnya  Dunia Arab dewasa ini.

Pandangan Hobbes itu ditolak oleh filsuf Inggris lainnya, yaitu John Locke (1632-1704). Ia berpendapat bahwa kontrak sosial itu harus diwujudkan dalam suatu Konstitusi negara yang membatasi kekuasaan para pemimpin negara dan di lain pihak melindungi dan menunaikan hak-hak para warganya atau rakyat, yaitu yang dipimpin. Itulah yang disebut sebagai keadilan politik, yaitu membatasi kekuasaan pemimpin yang disertai dengan kewajiban sebagai pemimpin negara dan masyarakat yang memberikan kepada rakyat, apa yang menjadi hak mereka. Prinsip keadilan itu harus ditulis dalam pasal-pasal  dan ayat-ayat konstitusi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan yang adil itu adalah kepemimpinan yang berpedoman pada hukum konsdtitusi. Itulah sebabnya maka Allah memerrintahkan kepada Nabi Daud as. , agar memerintah dengan adil berdasarkan hukum Taurat yang merupakan rekaman dari wahyu Allah.  Hukum pertama yang diturunkan kepada umat Yahudi adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa as. yang dikenal sebagai “Sepuluh Perintah Tuhan” (The Tend Commandment).  Dengan hukum Tuhan  itulah maka akan terbentuk “Negeri yang Aman” (al Balad al Amin) (Q.s.  Tin (95): 2 ). Dengan demikian, maka pola kepoemimpinan kedua dalam masyarakat adalah kepemimpinan konstitusional atau kepemimpinan berdasarkan hukum yasng adil. Ciri pola kepemimpinan itu pernah disebut oleh sahabat Nabi, Abu Dzar al Ghifari yaitu kepemimpinan yang berpihak kepada golongan yang lemah atau marginal yang disebut dalam al Qur’an sebagai al mustadf’afin yang pernah diwacanakan oleh Ali Sya ri’ati (1933-1977)dari kalanganm Syi’ah. TetapI dicerminkan oleh kepemimpinan khalifah Abu Bakar al Syiddiq ra. dan Umar binb Khattab ra. Ciri kepemimpinan Ini adalah orientasinya kepada peningkatan kesejahteraan rakyat yang di masa Abu Bakar Al Shiddiqy dilaksanakan melalui lembaga al Bait al Mal.

Menengok kepada sejarah, maka pengenalan pada hukum. senagai basis kepemimpinan konstitusional nampak  mampak pada masyarakat Yahudi itu, ketika mereka itu mendukung Konstritusi Madinah yang dibentuk dalam suatu musyawarah besar yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang adil, Muhammad, Rasulullah saw. Pada masa itu, kaum Muslimin yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshor, yakni penduduk asli Yastrib, hanya merupakan 13% dari total penduduk. Mayoritasnya adalah kaum Yahudi.

Namun orang Yahudi dikenal pula sebagai suatu kelompok orang yang suka melanggar hukum dan perjanjian, misalnya kitab sucinbya melarang riba tetapi mereka pula yang merintis pengembangan ekonomi ribawi di zamaun  modern. Di masa rasulullah mereka juga melanggar kesepakatan Konstitusi Madinah. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka itu lebih menyukai kebebasan daripada hukum, atau dengan perkataan lain, anarkis. Tetapi realitas itu juga dimiliki oleh sukju-suku Arab Badui yang juga trelah melanmggar hukum.

Dengan penduduk yang pada dasarnya berbudaya anarkhis itu, maka melihat bahwa penguasa itu adalah suatu kekuasaan absolut sehingga elite mereka merasa diri mereka sebagai pemimpin absulutis yang harus memimpin rakyat yang anarkis itu. Padahal secara formal pemimpin negara yang dipilih di antara para “wakil rakyat” yang disebut “atau semacam “dewan perwakiulan  suku” yang bersifat ad hoc  adalah kepala Negara Republik Madinah yng disebut khalifah atau pengganti kepemimpinan nabi.  Tetapi karena merasakan diri dipandang memiliki kekuasaan absolutis sementara itu mereka itu adalah elite suku, maka timbul kecenderungan untuk menyalah gunakan kekuasaan untuk kepentingan suku yang disebut korupsi politik (political Corruption) yang sangat rawan dalam kepemimpinan feudal itu.

Seorang pemikir politik Inggris Lord Acton mengatakan bahwa kekuasaan itu cenderung untuk korup. Sehingga kekuasaan yang absolut akan cenderung korup secara absolut pula.  Karena al ahl al khalli wa al aqdi itu bersifat ad hoc dan langsung bubar setelah tugasnya selesai, maka pemerintahan tidak didampingi dengan lembaga pengontrol yang permanan dalam jangka waktu pemerintahan seorang kepala pemerinmtahan. Karena itulah maka yang langsung pengontrol adalah rakyat yang anarkis.
Dalam kecenderungan ke arah absolitisme dengan latar belakang anarkisme Hobbesian itu, maka timbul korupsi pada masa pemerintahan khalifah Ustman bin Affan. Sebenarnya Usman sendiri bukan tipe kepemimpinan yang absolut. Ia sendiri adalah seorang pedagang sukses yang dermawan tetapi yang sebenarnya justru merupakan kelemahannya. Kekuasaannya yang sebenarnya benevelont  atau murah hatiitu dimanfaatkan oleh keluarga bani Ummaiyyah ysng sebelumnya sudah dikenal sebagai rival bebuyutan  Bani Hasyim itu. Dalam situasi seperti itu absolutisme digantikan dengan nepotisme. Berhadapan derngan anarkisme rakyat, maka timbul pemberontakan terhadap Khalifah Usman yang berakhir dengan pembunuhan. Dan dengan latar belakang rivalitas Bani Hasyim versus Bani Umma’iyyah, maka yang dituduh berdiri dibalik pemberontakan itu adalah keluarga Bani Hasyim. Sehingga ketika Ali bin Abi Thalib yang keponakan dan menantu Nabi saw itu dibaiat menjadi khalifah, maka Bani Ummaiyyah di bawah kepemimpinan Mu’awiyah petera Abu Sofyan, mantan penguasa negara kota  Mekkah yang kafir dan menentang kepemimpinan Nabi saw. Itu. maka ketika kekuasaan direbut kembali oleh  Bani Ummaiyyah itu, maka tipe rezim kembali berbalik dari republikanisme menjadi aanarkisme-absolutisme. Nepotisme seperti itu tidak terdapat pada khalifah Umar karena ia menolak pencalonan puteranya sendiri sebagai khalifah. Walaupun puteranya itu. yaiotu Abdullah Umar adalah seoirang pemimpin yang mumpuni, baik dalam penguasaan ilmu maupun karakter.

Ternyata tipe rezim otoriter dan nepotisme semacam ini terus berlangsung selama Abad Pertangahan. Peradaban Islam dianggap mencapai puncaknya di seluruh dunia secara politis didukung oleh absolutisme, walaupun, sebagaimana ditulis oleh Perry Anderson, -seorang sarjana Marxis Amerika (1938-…..),  terjadi di seluruh dunia. Absolutismne Abad Pertengahan Dunia Islam itu, setelah masa kemunduruannya sejak abad 12, diambil alih  oleh Eropa Abad Pertengahan yang merupakan gabungan antara feodalisme dengan teokrasi. Perbedaan antara Absolutisme Dunia Islam dengan Eropa Kristen adalah, di Dunia Islam tidak dikenal lembaga keuasaan keagamaan atau teokrasi. Karena itu maka Dunia Islam Abad Pertengahan yang tidak mengenal lembaga kependetaan atau Gereja sebagai lembaga kekuasaan politik yang dipimpin  oleh  para pendeta atau pastor itu lebih  “sekuler” daripada  Dunia  Kristen Eropah Abad Pertengahan yang menggabungkan negara dengan agama itu.
Pemisagan antara agama dengan negara sudah terjadi sehak pemerinrtahan Mu;awiyah yang memindahkan khilafah dari Madinah ke Damaskus dan selanjutnya ke Bagdad,  Cordoba di  Andalusia dan kemudian ke Istambul, Turki. Namun dari segi tipe rezim, pada umumnya masih bercorak ,omarki-feodal.
Menurut ualama cendekiawan pemimpin herakan al Nahda, Tunisia, Rashid Bhonnoushi, 2012 adalah tahun terakhir masa kefeodalan yang ditumbangkan melalui gerakan Musim Semi Arab. Tetepi ia tidak menyebutkan tipe rezim penggantinya. Tapi dalam revolusi Arab dasawarsa ’50 yang dipelopori oleh Mesir, penggantinya adalah rezim-militer sekuler yang juga otoriter. Ghommoushi sendiri menilai rezim Sosialisa Arab sekuler itu lebih otoriter daripada  rezim  monarki feudal yang masih lebih liberal itu, karerna kepemimpinannya dalam berkomunikasi dengan rakyat mempergunakan perantyaraan kaum ulama yang bergaya persuasif dan bukan koersif. Karene itu maka dalam perspektif pembaharuannya, rezim monarki akan mengikuti paham Locke, ysitu mengandalikan kepemimpionan  monarki dengan konstitusi model Inggris.
Tetapi gerakan Islamis dewasa ini telah menawarkan berbagai model kepemimpinan. Hizbul al Tahrir umpamanya, menghendaki dibentuknya kepemimpinan khilafah rashidah yang republic konstitusional. Gagasan ini sebenarnya dipelopori oleh Mohammad Rashid Ridha, murid dan sahabat Muhammad Abduh, tete[I model yang dipikirkannya adalah kehilafahan Dunia Islam yang cosmopolitan. Tetapi sebelumnya, Jamaluddin al Adghani telah menggerakkan Pan-Islamisme d enghan membentuk negaranamgsa yang merdeka  yang berorientasi nasionalis. Yang terjadi adalah lahirnya Negara-negara bangsa di Dunia Islam. Tapi al Hibul al Tahrir mengkombinasdikan dua gagasan Ahganian-Ridhoan, dalam bentuk federasi antara Negara-negara Islam di seluruh dunia. Cita-citanya adalah kekhalifahan seluruh Dunia Islam, tetapi gerakannya dilakukan dengan mendirikan Negara-negara Islam. Dengan demikian yang    dicita-citakan adalah kekhalifahan yang federatif. Pola gerakan itu pernah dilaksanakan oleh Gamar Abdul Nasir dalam gerakan pembentukan Negara Sosialisme ASrab yang sekuler, dimul;ai di Mesir, kemudian membentuk United Arab Republics bersama-sama dengan Siria yang diikuti rezim serupa di Libia dan Aljazair. Tetepi walaupun rezimnya bercorak republikanisme, tetapi tidak demokratis.
Gagasan lain adalah kepemimpinan Imamah dalam lembaga al Wilayah al Faqih sebagai suatu dewan kepemimpinan ulama berdasarkan hokum syariah. Model kepemimpinan ini diusulkan oleh aliran Syiah  ysng dimulsai dengaan prndirian Republik Islam iran. Tapi di lingkungan Syiah sendiri juga sudah lama muncul gagasan estakologis mengenai turunnya Imam Mahdi bersama-sama dengan kembalinya Isa al Masih. Di Indonesia gagasan ini muncul pada waktu berkembangnya gerakan Syarikat Islam yang akan melahirkan seorang Ratu Adil. Pada waktu itu yang dielu-elukan sebagai Ratu Adil adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, tetapi atas saran rekannya Haji Agus Salim yang juga mendukung kepemimpinannya Tjokro menolak dianggap sebagai Ratu Adil itu. Yang dimaksud dengan Ratu Adil pada waktu itu adalah seorang pemimpin yang mampu membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Tetapi Tkokro sendiri memiliki konsep kepeminan yang merup[akan kesatuan dengan konsep kewargaan, yaitu kepemimpinan atau kepribadian yang memiliki tiga kualitas, yaitu semurni-murni Tauhid, seluas-luas ilmu pemnhatahuan dan sepandai-partai siasat. Sebagai pola kepemipinan ia menggambarkan sosok pemimpin yang memiliki iman tauhid yang paling murni, memiliki pengetahuan yang luas dan memiliki kecerdasan di bidang politik.
Dilingkungan Syiah. Imam Mahdi sebenarnya sudah lahir yaitu dalam sosok Zainal Abidin seorang keturunan Nabi yang menjadi  Imam  Syiah ke 12 yang menghilang tetapi akan lahir kembali. Tetapi Imam Mahdi itu sendiri secara harfiyah adalah seorang “pemimpin yang mendapatkan petrunjuk”. Jadi Imam Mahdi bisa ditafsirkan secara metaforis. Putunjuk itu datangnya darti Allah, sehingga Imam Mahdi adalah Rasululla saw sendiri yang menadapat wahyu. Tetapi wahyu Allah sendiri sudah berhenti dan dianngap telah sempurna (G.s. al Maidah (5): 60) yang secara   keseluruhan sudah dikodifikasikan dxalam al  Qura’an dan dfiwujudkan dalam kepemimpinan Nabi saw sendiri. Karena itu konsep Imam Mahdi itu harus digali dari al Qur’an sendiri.
Tetnepi secara teoritis seorang pemimpin itu pada dasarnya harus memiliki integritas yang tercermin dalam sikap s ikap dan tindakan-tindakannya yang berdasarkan suatu prinsip. Untuk bias memiliki integritas maka seorang pemimpin harus mendiri, dalam arti mampu mengambil keputusan yang tegas tetapi aman bagi dirinya. Dengan perkataan lain, seorang pemimpin haruslah seorang pribadi yang memiuliki prtinsip-prinsip kepemimpinan (princiuple based leadership). Kemandirian itu, dalam bahasa Islam diistilahkan dengan seorang yang bertaqwa yang mampu mengambil keputisan dan tindakan yang mandiri.
Stephen Covey (1932-2012) menulis dalam bukunya, bahwa pertama-tama memiliki kemandirian pribadi (personal independence). Prinsip pertama dalam kemandirian prtibadi adalah bersikap protektif, artinya mampu melindungi diri sebdiri. Ked uaa “ambag parama arta”. Yaitu memiliki skala prioritas, yaitu mendahulukan apa yang perllu didahulukan (put first thing f irst).  Dan ketiga ad alah membalik ujung menjadi pangkal atau menjadikan tujuan menjadi titik tolak (begining with the end). Dalam teori manajemennyha disebut  “management  by objective”.
Selanjutnya, dalam hubungan antar manusia yang saling tergantung (inter-dependence). Covey menganjurkan dilakukannya tiga prinsip kepemimpinan. Pertama, dalam melakukan negosiasi yang dicapai adalah menang bersama-sama atau saling menmguntungkan  (win-win solution), bukan mau menang sendiri yang lain salah (win loose solutrion) apalagi  kalah semua atau sama-sama rugi (loose-loose solution).  Kedua, berusaha umtuk memahami yang lain dan baru kemudian berusaha untuk meyakinkan orang lain. Dan ketriga bertindak sinergis untuk mencapai tujjuan bersama. Dengan tiga prinsip itu seorang pemimpin akan mencapai kemandirian eksternal.
Dalam kepemimpinan Islam,  petunjuk kepemimpinan keumatan terdapat  dalam  al Qur’an, khusuysnya Q. s. Ali Imran (3): 104 dan 110. Dari surat itu tersimpul bahwa kepemimpinan yang mendapat petunjuk itu memiliki emapat cirri sebagai berikut. Dalam surat itu tujuan seorang pemimpin adalah al falah, keberhasilan atau sukses, dalam hal ini keberehasilan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat atau dalam bahasa Utilitarianismne Benthamian adalah memberikan kebahagiaan yang sebesare-besarnya bagi sebanyak-banyak orang (the greatest happiness for the greatgest number of people).  Guna mencapai tujuan itu dibutuhkan tiga karakter. Pertama, seorang pemimpin negara adalah pemersatu umat atau bertujuan membentuk suatu umat atau bangsa yang satu (al umm atan al wahidah).   Kedua berorientasi pada nilai-nilai keutamaan al khair (virtue) .   Ketiga, mengamban misi amar ma’ruf nahi munkar, membangun yang baik dan menegasi yang buruk. Dari Q.s. Ali Imran (3): 110, dapat ditambah lagi tiga karakter  kepemimpinan, pertama, menjadi saksi atas manusia (shuhada ala an nas), artinya mengakatan atau mengkonfirmasi bahwa yang benar itru adalah benar dan yang salah adalah salah. Kedua, bersikap adil, atinya  memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya atau menagaklkan hak-hak asasi manusia yang menjadi tujuan hukum syariat. Dan ketiga  mampu mengadalikan diri sehingga tidak bersifat ekstrem, artau dengan perkataan lain bersikap moderat dan cenderung melakukan moderasi (washatan).
Dalam kepemimpinan yng mendapatkan petunjuk maka karfakter seorang pem impin harus sama dengan karfakterumat atau bangsa sebagai umat yang unggul atau terbaik (al khair al ummat) seperti disebut dalam QW.s. Ali Imran (3): 110 .  Pemimpin  yanmg memiliki kepribadian yang unggual adalah mereka yng memiliki nilai-nilai keutamaan atau virtue (al khair).
Dari al Qur’an, dapat ditemukan nilai-nilai keutamaannya, yang bias dipilih di antaranya yang terpenting. Pertama, adalah nilai khilafah. Dalam nilai keutamaan ini,   pemimpin itu adalah seorang khalifah Allah dimuka bumi, sehingga setiap manusia itu adalah pem impin  dan bertanggung jawab atas kepemimpinnnya itu. Seorang khalifah dapat disebut sebagai wakil Tuhan dxalam mngelola sumberdaya yang di anugarahkan kepada manusia dedngan pesan untuk kemakmuran semnua makhluk hidup. Dengan demikian seorang khalifah bertanggung jawab atas kelestarian alam. Pola kepemimpinan itu dapat disebut juga sebagai eco-leadership.
Kedua, adalah nilai amanah.  Dalam hal ini seorang pemimpin itu adalah pengemban aman ah yang dapat dipercaya (trustee). Ciri amanah itu ada tiga. Pertama, jujur atau dapat dipercaya karena adanya satu kata dengan perbuatan. B ertanggung jawab jika mendapatkan kepercayaan dari yang dipimpin. Dan ketiga, menepati janji atau taat pada perjanjian yang disepakati, seprfti konstitusi. Pemimp[in yang tidak amanah disebut sebagai seorang munafiq yang akan kehilangan kepercayaan dari rakyat.
Ketiga adalah nilai al adalah, atau adil. Yang dimaksuyd dengan adil adalah tidak menindas (zalim) hanya karena tidak suka kepada seseorang atau kelompok tertentu. Arti positifnya adalah memberikan hak kepada orang yang memiliki hak  yaitu hak-hak azasi manusia yang merupakan tujuan syariah (al maqosith al syariah). Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang membebaskan rakyat dari belenggu kezaliman yang tercermin dalam rezim-rezim militer otoriter yang sekuler.
Keempat adalah al syura atau musyawarah dalam memecahkan persdolan. Allah memerintahkan dalam al Q.s. As-Syura (42): 38) dan Ali-Imran (3): 159). agar memecahkan masalah bersama melalui musyawarah sebagai tindakan komunikasi akjtif.  Istilah ilmiah tentang azas syura adalah demokrasi deliberaif sehingga seorang pemimpin Isxlam adalah seoirang pemimpin yang demokratis.
Kelima adfalah al mizan, artinya seimbang dalam mempertimbangkan sesuatu.  Keseimbangan dalam prfibadi sesorang itu dalam psikologi disebut sebagai kecerdasan mental yang menjadi p-0nyeimbang dari kecerdasan rasional. Dengan demi8kian maka pemimpin yang bermentalitas seimbang adalah seorang pribadi yang mampu mengndalikan diri.
Keenam adalah wasathan atau modereat. Seorang pemimpin harus mampu melakukan moderasi terhadap sesuatu yang sifartnya keras atau ekstrem. Uma melakukan moderasi di antara pihak-pihak yang bersaing atau yang bertentangan. Dngan perkataan lain, seorang pemimpin adal;ah seorang wasit  yang menciptakan perbauikan hubungan (al islah).
Ketujuh adalah ta’aruf atau saling memahami perbedaan. Masyarakat modern adalah masyarakat yang makin plural atau beragam. Seorang pemimpin harus mampu melihat keragaman itu  dan mampu melihat perbedaan sebagai kekuatan atau rahmat, karena itu seorang pemimpin harus mampu melihat manfaat dari perbedaan itu.
Dunia Islam yang dewasa ini sedang mengalami pergolakan iutu sangat membutuhkan perana pemimpin yang mempertoleh petunjuk atau Imam Mahdi.  Sumber pergolakan dan konflik itu dilator belakangi oleh corak masyarakat barbar dan anarki atauy jahiliah, sehinnga solusiinya adalah kepemimpinan yang otoritar. Orang-orang sekuler memandang bahwa summber  dari kletidak bebasan itu adalah doktrin-doktrin keagamaan, sehingga doktrin keagamaan harus disingkirkan atau dibendung untuk masuk ke nruang public politik.  Karena itu para pemimpin sekuler, baik kalangan militer maupun sipil tidak menyukai gerakan-gerakan Islamiosme, seperti al Ikhwan al Muslimin, Hizb al Tahrir atau gerakan Salafi. Padahal gerakan-gerakan itu memiliki pandangan yang dianggap sebagi solusi terhadap masalah-maslah Dunia Islam. Ikhwan al Muslimin umpamanya memiliki pandangan bahwa masyarakat barbar atau anarki itu harus diartur dengan hokum syariah. Al Hizb ah Tahrir memilik,I gagasan mengenai pembebasdan umat Islam dari Imperialisme Barat maupun  Timur secara eksternal dan secara internal ingin membebaskan rakyat dari kezaliman system ekonomi KJapitalis maupun Sosialis dan Fascis. Sedanggkan gerakan Salafai bercita cita untuk membangun masyarakat yang berakhlaq  sesuai dengan tradisi masyarakat Muslim pada zaman Nabi dan awal perkembangnnya yang masih murni. Pandangan pandangan itu sebenarfnya mem,iliki arguman yang kuat. Tetapi sulit dipahami atau dicapai dengan cara yang kurang tepat dasn tidak cerdas, yaitu dengan cara kekarasan dan dengan melakukan tindakan takfiri atau mengkafirkan pandangan-pandangan lain yang dianggap sesat. Psandangan-pandangan itu juga ditolak karena dianngaop mengancam kepentingan-kepentingan asing yang ingin men jajah dan menguasai pengelolaan sumbertdaya yang dim iliki oleh umat Islam. Dsn ksrren dibrndung dengan kekarasan dan otoriter maka timbul gerakan-gerakan jihadi yang mempergunakan kekeasan yang justru memperburuk situasi dan citra gereakan Islamis. Disin il;ah diperlukan suatau kepemimpinan politik, sosal dan ekonomi yang mampu memberikan solusi.
Kepemimpinan yang solutif itu  memerlukan tiga komponen  ideologi. Pertama adalah komponen semangat (spirfit) yang mampu menggerakkan umat. Kedua, mentalitas yang mendasari perilaku pemimpin dan rakyat. Dan ketiga adalah struktur dan system kelembagaan yang menjadi instrumen mencapai tujuan.
Dalam ajaran Islam, semngat itu adalah al ihad dalam pemikiran dan al jihad fi sabilillah dalam tindakan. Tetapi pemgertian ai jtihad maupun al jihad memerlukan penafsiran baru. Ijthad di masa lalu hanya diartikan sebagai usaha untuk memahami ajaran agama. Tapi  di masa modern adalah usaha pemiliran yang didasarkan pada ilmu pengetahuan modern yang kontekstual dengan persolan-persoalan di dunia, khususnya Dunia Islam. Misalnya ijtihad perlu diarahkan untuk memahami kepemimpinan dan pemerintahan  yang otoriter maupun demokratis.  Dengan ilmu pengetahuan modern, maka istilah jahiliah perlu dipahami  secara kontekstual.  Sedsangkan jihads umumnya dipahami sebagai identik dengan perang atau tindakan kekerasan. Padahal tindakan kekerasan merupakan cara beerjuang yang tidak cerdas. Kareba itu jihad yang cerdas harus dipahami sebagai cara-cara damai dan dewm okratis dalam mencapai tujuan.
Komponen kedua dari ideologi menurut Weber-Rodinson adalah mentalitas yang dicerminkan oleh saikap dan perilaku. Men talitas yang dimaksud adalah mentalitas rakyat maupun pemimpin yang harus serasi. Al Farabi dalam kitabnya “al Madinah al Fadhilah” berpendapoat bahwa negara utama itu  harus dipimpin oleh seorang “Raja-Sufi”, sebagai modifikasi dari konsep Plato “Raja-Filsuf”. Seorang Raja Sufi itu merupakan bagian terbaik dari suatu Negara utama yang didukung oleh warga yang memiliki tiga mentalitas kewargaan, yaitu  taqwa, cerdas dan produktif.
Pandangan Al Farabi yang penganut aliran Syiah itu dapat dijadikan sebagai petunjuk dari seorang filsuf besar untuk memecahkan masalah-masalah Dunia Islam sekarang. Konsep Raja Sufi itu dapat dilembagakan dalam sistem kepemimpinan konstitusional. Sedangkan konsep men ganai kualitas warga dapat dilembagakan dengan pendidikan kewargaan.
Selanjutnya, komponen ketiga dari ideologi adalah kelembagaan dari kepemimpinan. Rezim otoriter dewasa ini, sebagaimana din yatakan oleh Rashid Ghonnushi, harus digantikan dengan pemerintahan dan kepemimpinan yang demokratis. Lembaga utamanya adalah konstitusi hukun syariat demokratis, parlemen, pemerintah yang dipilih noleh rakyat dan partai politik.
Karena itu, maka pengembangan kepemimpinan di Dunia Islam dewasa ini  memerlukan langkah-langkah utama. Pertama pengembangan sistem kepertaian yang plural tetapI sederhana. Fungsi partai dalam sistem demokrasi adalah  agregasi kependingan, artikulasi  politik dan rekrutmen kepemimpinan.
Langkah kedua adalah penyelanggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil dalam rangka merekrut wakil-wakil rakyat dalam lemb aga dewan perwakilan rakyat yang mem,bentuk pemerintahan yang dipilih oileh rakyat dan majelis permusyawaratan rakyat yang menyusun Konstitusi begara dan garis-garis besar haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman kepemimpinan negara.
Lan gkah ketiga adalah pendidikan kewarganegaraan dan kewargaan masyarakat yang mampu merubah masyarakat barbar, anarkis dan otoriter men jadi masyarakat yang republican-demokratis yang mewngan al kebebasan dan hukum.  Dewana ini yang meonjol di Dunia Islam adalah  tipe masyarakat yang barbar dan anarkis  yang menghasilkan suatu pemerintahan dan  kepemimpinan yang otoriter dan represif yang memberangus  kebebasan.
Gerakan-gerakan Islamis, baik Sunni maupun Syiah   sebenarnya adalah kekuatan-kekuatan pembaharuan, namun memerlukan artikulasi yang lebih cerdas berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan.
Gerakan al Ikhwan al Muslimin perlu fdikembangkan menjadi gerakan untuk menegakkan hkum syariah yang demokratis yang harus bisa mengambil pelajaran dari kegagalan Mesir dan keberhasilan Tunisia. Gerakan al Hisb al Tahrir harus dimodifikasi dari gerakan membentuk negara-negara Islam men jadi gerakan untuk mengembangkan konsep negara utama Al Farabi  yang bersendikan konsep Raja Sufi dan warga yang takwa,m cerdas dan produktif.  Sementara itru konsep kewargaan Negara utama perlu disusun dengan mempelajari ajaran kaum salafi yang telah menusun kode etik masyarakat Muslim.
Oleh: M. Dawam Rahardjo.
Jakarta, 16 April, 2015.