EVOLUSI PEMIKIRAN MENGENAI KOPERASI DI INDONESIA

Dalam wacana mengenai perkoperasian di Indonesia, lembaga koperasi dianggap telah dirintis pertama kali oleh Patih Purwokerto, R. Aria Wiriatmadja pada tahun 1898, tiga tahun setelah berdirinya ‘International Cooperative Alliance’ (ICA) di Eropa, yang masih lestari sebagai wadah gerakan koperasi global resmi, jauh sebelum terbentuknya lembaga-lembaga sosial, seperti ILO (International Labour Organization) atau WTO (World Trade Organisation). Tetapi di lain pihak ia juga dianggap sebagai perintis lembaga keuangan mikro dalam bentuk lembaga simpan pinjam untuk menolong diri sendiri di kalangan priyai miskin dalam birokrasi kolonial Hindia Belanda. Dalam mendirikan lembaga itu, ia mempergunakan uang pribadi, ditambah uang kas masjid hasil Sadaqah, sehingga ia juga dianggap merintis gagagan bank sosial, sebagaimana dilakukan oleh Dr. Ahmad Nadjah dari Mesir pada tahun 1965 dalam gagasan Mit Gimr Social Bank yang menggunakan dana zakat sebagai modal bagi bank sosial Islam yang kemudian dinasionalisasi menjadi Nasser Social Bank itu pada tahun 1965, sehingga kehilangan esensinya sebagai bank sosial, menjadi badan usaha milik negara.

Pada waktu itu lembaga keuangan mikro belum berbentuk badan hukum koperasi, karena tidak ada UU-nya atau Peraturan Pemerintah-nya. Lembaga itu, juga dianggap sebagai lembaga sosial, daripada lembaga ekonomi. Karena itu seorang Residen Banyumas, Wolf van Westerode yang menggantikan asisten residen sebelumnya. Mengambil inisiatif untuk mempergunakan masa cutinya untuk mempelajari koperasi kredit di Jerman yang berbasis sektor pertanian. Setelah pulang kembali ke Hindia Belanda, Westerode berkeyakinan bahwa koperasi model Raifffeisen itu bisa berkembang pesat di Jawa, sebagai kawasan partanian Hindia. Karena itu ia menganjurkan lembaga Hulp en Spaarbank, atau bank tabungan sebagai usaha menolong diri sendiri dalam gagasan Schutcze Dellitsz itu, menjadi lembaga kredit pertanian model Raiffeisen, yang memberikan fasilitas pinjaman kepada kaum petani atas dasar solidaritas dan persaudaraan Kristiani.

Tetapi rencana Westerode itu belum sempat berjalan, sudah dicegah oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah berpendapat bahwa masalah kemiskinan dan kebutuhan kredit dari kaum petani itu bisa dilayani oleh lembaga bank desa, yang memang sudah ada sebelumnya sebagai bank-nya kaum priyayi perdesaan di Jawa. Selain itu bank desa itu dikonsepkan sebagai pengelola dana sosial Pemerintah Hindia Belanda sebagai politik balas budi, Pemerimtah Belanda. Namun dibalik itu, Pemerintah Hindia Belanda memandamg bahwa bank desa adalah suatu usaha yang menguntungkan menggantikan bisnis mindering atau rentenir yang dilakukan oleh para pedagang Tionghoa. Westerrode sendiri ditugaskan untuk mengembangkan lembaga lumbung desa, yang merupakan gabungan antara lembaga simpan pinjam in natura dalam bentuk bibit dan gabah di daerah pertanian padi sawah, dan lembaga koperasi. Karena itu maka gagasan koperasi Raifeissen tidak berkembang, sementara itu gagasan swadaya Wiriaatmadja, diambil alih oleh Pemerintah. Secara keseluruhan koperasi pada awal abad 20 tidak berkembang.

Tapi pada tahun 1911, Haji Samanhudi seorang pengusaha dan pedagang batik dari Solo, mendirikan organisasi gerakan sosial Syarikat Dagang Islam (SDI). Ternyata SDI  menangkap gagasan koperasi, sebagai wadah gerakan ekonomi, melawan dominasi pedagang Tionghoa perantauan yang berorientasi pada Pemerintah Cina yang mengacu pada gagasan Sun Yat Sen, San Min Cui I atau Nasionalisme, Sosialisme dan Demokrasi. Karena itu gerakan kaum Tinghoa di Hindia Belanda dianggap asing baik oleh SDI maupun Pemerintah Hindia Belanda sendiri. Dalam kaitan ini, gerakan ekonomi Tionghoa dianggap sebagai pesaing kuat kegiatan ekonomi Belanda, dan karena itu Pemerintah Hindia bersimpati kepada SDI dari kalangan pribumi untuk menandingi pedagang Tionghoa.

Tetapi gerakan koperasi SDI yang mengambil bentuk lain yaitu koperasi konsumsi dan perdagangan model Rochdale, Inggris itu lebih didasarkan pada spirit bergotong-royong melawan monopoli perdagangan kaum Tionghoa. Tetapi para pengurus koperasi belum memiliki mentalitas koperasi berdasarkan prinsip-prinsip beroperasi model Rochdale, sehingga gerakan itu banyak mengalami kegagalan. Sebenarnya koperasi konsumsi Rochdale itu didirikan oleh para pemimpin buruh untuk kaum buruh dan bukan untuk kaum pedagang. Dengan latar belakang itu maka pada tahun 1915, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah mengenai Perhimpunan Koperasi No. 431/1915  sebagai pedoman berkoperasi, dengan tujuan agar koperasi dapat menjadi badan usaha yang mampu bersaing dengan perseroan terbatas.

Namun peraturan yang ketat model Kapitalisme Eropa itu dianggap tidak cocok dengan budaya pribumi. Pada tahun 1911, seorang birokrat sarjana Belanda B.J. Boeke membuat disertasi tentang perekonomian Hindia Belanda yang menemu-kenali perbedaan motif antara orang Eropa dan pribumi Hindia Belanda. Menurutnya, motif ekonomi orang Eropa adalah motif ekonomi yang berorientai pada pasar. Sedangkan motif kaum pribumi adalah motif sosial, yang melakukan kegiatan pertanian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ia kemudian berpendapat bahwa badan usaha yang cocok untuk mewadahi motif sosial kaum pribumi itu adalah koperasi. Atas dasar itu maka Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Boeke sebagai Panitia perbaikan UU perkoperasian yang sesuai dengan motif dan mentalitas kaum pribumi. Hasilnya adalah UU No. 91/1977 yang dianggap sebagai UU Koperasi yang sesuai dengan semangat gotong-royong kaum pribumi yang menjadi dasar gerakan koperasi. Tetapi UUini dianggap tidak membentuk mentalitas berkoperasi Eropa sebagai badan usaha. Dari sini muncul dualisme pandangan mengenai koperasi, pertama yang berorientasi pada mentalitas gotong-royong kaum pribumi dan kedua yang berorientasi pada mentalitas berkoperasi orang Eropa.

Paham gotong-royong inilah yang dijadikan dasar bagi perumusan pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa organisasi yang sesuai dengan usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan adalah koperasi, yang merupakan kombinasi antara gagasan Bung Hatta dengan Ki Hadjar Dewantoro pendiri Taman Siswa.

Dengan demikian, maka dalam perkembangan gagasan itu muncul dua bibit gagasan mengenai koperasi. Pertama, gagasan koperasi sebagai gerakan masyarakat yang menekankan spirit berkoperasi. Kedua, adalah gagasan koperasi sebagai badan usaha dalam sistem persaingan pasar bebas model Eropa.

Pada tahun 1927, Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Bung Karno mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan Kongres Koperasi Indonesia'yang pertama sebagai gagaan kebangsaan yang berorientasi pada gagasan gerakan koperasi Indonesia. Tetapi pada dasawarsa 20-an itu tidak nampak perkembangan koperasi secara berarti, sehingga pada tahun 1930 hanya tercatat 89 unit koperasi saja. Dengan jumlah anggota 7.848 orang, sebagian besar yaitu 81 koperasi kredit, 6 koperasi produksi dan 2 koperasi konsumsi dan 1 koperasi lain-lain. Dengan demikian, maka koperasi itu pertama-tama dibutuhkan sebagai lembaga pelayan finansial, terutama kredit. Prof. Sumitro Djojohadikusumo dalam disertasinya menyimpulkan bahwa masyarakat pribumi adalah manyarakat penghutang, yang tergantung pada hutang dan karena itu timbul usaha rentenir, tetapi laku karena walaupun menetapkan suku bunga yang amat tinggi sehingga menimbulkan eksploitasi modal atas tenaga kerja.

Pada tahun 1931, Bung Hatta, sekembalinya dari Belanda dan menggondol gelar sarjana ekonomi dari Universitas Amsterdam, menulis artikel mengenai pedagang kecil pribumi yang merupakan migran dari daerah perdesaan. Kegiatan yang dapat mereka lakukan adalah berdagang. Namun dalam perdagangan itu mereka tidak mampu bersaing dengan pedagang Tionghoa yang banyak modalnya dan telah membentuk jaringan yang mapan. Karena itu maka Bung Hatta menganjurkan agar dengan modal yang mereka miliki, mereka melakukan kegiatan produksi dengan wadah koperasi produksi. Pada dasawarsa 30-an koperasi produksi itu memang berkembang, tetapi tidak cukup cepat sehingga tahun 1938 hanya mencapai jumlah 37 unit.

Koperasi yang paling cepet mengalami perkembangan dalam dasawarsa itu adalah koperasi kredit yang mencapai jumlah 427 unit dari 540 unit koperasi secara keseluruhan yang berarti mencakup 79,1%. Tetapi koperasi produksi ini masih lebih banyak dari koperasi konsumsi yang hanya berjumlah 16 unit saja.

Koperasi kredit ini sebagai gerakan berkembang adalah berkat pembinaan Perkumpulan Bangsa Indonedsia (PBI) di bawah kepemimpinan Dr. Sutomo, sebagai metamorfose Boedi Oetomo yang juga masih berkembang, tetapi kemudian bergabung ke dalam Partai Indonesia Raya dengan PBI. Beda Boedi Oetomo dengan PBI adalah yang pertama umumnya adalah kaum birokrat yang mengemban nilai kebangsaan. Sedangkan PBI adalah gerakan sosial yang bersikap kooperatif terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan Soekarno adalah pemimpin politik pergerakan yang bersifat non-kooperatif.
Bung Hatta sendiri, dalam pembuangannya menulis serangkaian artikel mengenai koperasi. Kumpulan tulisan itu diterbitkan menjadi buku Pasal-pasal Ekonomi jilid II () yang dapat dinilai sebagai tulisan mengenai ilmu perkoperasian (Cooperative Science) yang menjadi dasar ilmu perkoperasian dewasa ini. Setelah kemerdekaan, Bung Hatta meneruskan kegiatan itu dalam rangka monitoring dan bimbingan terhadap gerakan koperasi Indonesia yang dikumpulkan ke dalam buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (). Melihat judulnya buku ini berisikan dua pemikiran. Pertama adalah membangun koperasi sebagai gerakan sosial-ekonomi. Dan kedua berisikan pemikiran tentang peranan koperasi dalam pembangunan ekonomi. Dari sinilah timbul pemikiran untuk menjadikan koperasi sebagai instrumen kebijakan pembangunan dan sebagai lembaga pelayanan dalam pengembangan ekonomi rakyat.

Pada masa dasawarsa 30-an, koperasi sebagai gerakan berkembang sampai mencapai jumlah 540 unit dengan jumlah anggota 1.182.785 pada tahun 1938, menjelang jatuhnya Pemerintahan Hindia Belanda. Jumlah inilah warisan gerakan koperasi di zaman Hindia Belanda yang dipimpin secara non-intervionis oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam bimbingan terhadap koperasi sebagai badan usaha, sangat menonjol peranan Margono Djojohadikusumo dari Kementerian Kesejahteraan yang menulis buku berjudul Penerangan Koperasi Indonesia, sebagai model bimbingan melalui karangan yang sifatnya non-intervensionis. Tradisi ini terus dilanjutkan oleh Bung Hatta, ketika ia membimbing gerakan koperasi Indonesia. Dengan demikian, Bung Hatta sebenarnya menganut pemikiran koperasi sebagai gerakan masyarakat.

Perubahan mendasar mengenai koperasi yang berbeda dengan model non-intervensionis terjadi pada zaman Jepang, dimana koperasi menjadi alat kebijakan publik. Pada masa itu koperasi dipergunakan sebagai alat penghimpunan bahan pangan dan kemudian alat distribusi pangan pada masa ekonomi perang di bawah pemerintahan Fasis militer Jepang. Dari sini dimulai tradisi intervensionis, dimana Pemerintah berperan aktif dalam penggunaan koperasi sebagai alat kebijakan pemerintah.

Tetapi gerakan koperasi ini dalam model non-intervensionis kembali berkembang sesudah kemerdekaan 1945. Di awal kemerdekaan, yang nampak berkembang adalah koperasi produksi, atau koperasi yang berbasis sektor riil, yang menonjol di antaranya adalah koperasi perikanan dan koperasi perbatikan. Dalam model non-intervensionis itu yang menonjol peranannya adalah tokoh-tokoh aktivis koperasi dari kalangan birokrat, murid Margono Djojohadikusumo, seperti Ir. Teko Sumodiwirjo dan R.S. Soeriaatmadja, tokoh gerakan koperasi murid Bung Hatta, seperti Yuyun Wiriasumantri dan juga di kalangan akademisi yang baru muncul pada masa Orde Baru seperti Sri-Edi Swasono, Wahyu Soekoco dan Wagiono Ismangil. Di masa Orde Baru juga muncul tokoh-tokoh pemikir koperasi dari kalangan birokat seperti Ibnu Soejono dan Sularso yang punya murid-murid di kalangan LSM, selain tokoh praktisi seperti Bustanil Arifin, Muslimin Nasution dan Subiyakto Tjakrawerdaya.

Haluan intervensionis muncul kembali di masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 yang juga disebut sebagai masa trasisi Nasional-Demokrasi menuju Sosialisme Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Pada masa itu, koperasi dijadikan alat kebijakan pemerintah, terutama sebagai alat distribusi, seperti pada masa Jepang. Tapi di masa itu dikembangkan juga koperasi konsumsi model Rochdale sebagai sistem ekonomi mikro model ICA, tetapi sekaligus juga mendapat intervensi dari pemerintah sebagai alat distribusi. Dengan demikian, kegiatan koperasi menyimpang sebagai gerakan rakyat, walaupun mengikuti model Rochdale, sehingga terkandung kontradiksi kultural.

Berbagai aliran pemikiran mengenai koperasi itu merebak secara serentak di masa Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik yang bersifat eklektik. Pada waktu itu kebijakan ekonomi pembangunan berada dalam direksi kaum teknokrat di bawah kepemimpinan Widjojo Nitisastro. Tokoh akademisi FE-UI itu pada tahun 1953 sudah mengeluarkan pemikiran yang berbeda dalam menafsirkan pasal 33 ayat 1 UUD 1945. Dalam suatu seminar di UI terjadi perbedaan pendapat antara Wilopo yang mengikuti pandangan tradisional tentang koperasi sebagai badan usaha yang sesuai dengan usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan. Tetapi Widjojo berpendapat bahwa azas kekeluargaan itu merupakan azas kerjasama antara tiga sektor ekonomi, yaitu sektor koperasi, sektor negara dan sektor swasta. Ketiganya berada dalam kondisi persaingan di pasar bebas, tetapi di Indonesia harus menjalin kerjasama. Karena itu di masa Orde Baru, ketiga sektor itu dikembangkan dan berkembang. Dan pemerintah sendiri bersikap intervensionis terutama dalam pembinaan Koperasi Unit Desa (KUD), terutama dalam mencapai swasembada beras yang memang tercapai pada tahun 1986.

Di masa Orde Baru itu terjadi perbedaan pendapat antara Bung Hatta dan Presiden Soeharto. Bung Hatta berpendapat bahwa perkembangan koperasi harus terjadi dari bawah dan karena itu tergantung pada kesadaran, pengetahuan dan spirit masyarakat sendiri. Tetapi Presiden Soeharto berpendapat bahwa sikap itu menyebabkan lambatnya perkembangan koperasi yang makin lama akan makin jauh tertinggal dari perkembangan sektor negara dan sektor swasta. Karena itu terhadap perkembangan koperasi harus diterapkan kebijakan percepatan atau akselerasi. Caranya adalah dengan memberikan proyek bisnis kepada koperasi. Pada KUD diberikan tugas untuk menyalurkan sarana produksi pertanian terutama pupuk dan pestisida, petani anggota mengakses kredit dari BRI dan KUD mengumpulkan pembayaran kembali pinjaman kredit dari BRI dan pemsaran hasil pertanian terutama beras, dengan menjualnya kepada BULOG dan karena itu koperasi ditugaskan mengembangkan industri pemrosesan gabah menjadi padi.

Intervensi pemerintah di bidang Bisnis dilakukan melalui BRI, sedangkan untuk distribusi ditugaskan BULOG (Badan Logistik) untuk membeli beras dari KUD-KUD. Dengan mekanisme ini koperasi menjadi alat kebijakan pemerintah yaitu khususnya dalam pencapaian swasembada beras. Tetapi model ini dikembangkan kepada komoditi-komoditi lain walaupun dalam tingkat intervensi yang tidak terlalu mendalam.

Koperasi di masa Orde Baru mengikuti model koperasi serba usaha (Multi-purpose Cooperative) serupa dengan model Jepang yang di Jepang diatur dalam UU, yang mengandung komponen koperasi produksi, koperasi konsumsi dan koperasi kredit. Koperasi ini masih dianggap dalam koridor Jati Diri Koperasi ICA. Namun dalam kenyataannya dilingkungan koperasi gobal 300 (Global Cooperatives 300) terkandung gejala koperasi single maupun multi purposes. Dan akhir-akhir ini ACA juga mencatat gejala koperasi serba usaha dalam jumlah terbanyak kedua, sesudah koperasi kredit dan di atas koperasi konsumsi di dunia.

Dalam buku ‘Value in the Changing World’ (1992) karya Steven Ake Book, disebut bahwa dari 700 juta anggota koperasi yang tergabung dalam ICA, 25% adalah anggota koperasi kredit, menyusul koperasi serba usaha 23% dan konsumsi 21%. Pada masa Orde Baru ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 12/1967 sebagai basis dari pembentuk koperasi perdesaan serba usaha yang baru dimulai pada tahun 1972 dengan pembentukan BUMD sebagai badan usaha Koperasi Unit Desa (KUD), maka pada pada tahun 1989 telah dikembangkan pula koperasi sebagai gerakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Credit Union sebagai bagian dari gerakan koperasi internasional ICA. Perbedaan antara dua jenis koperasi itu adalah bahwa KUD merupakan ‘Goverment Driven Cooperative’ sedangkan CU adalah Community Driven Cooperative. Kedua jenis koperasi itu berkembang cukup cepat hingga akhir pemerintahan Orde Baru 1968. Pada tahun 2000 yang melakukan RAT 35%, pada tahun 2014 naik menjadi 38%. Pada tahun 2014 tercatat sekitar 209.488 unit koperasi, sedangkan yang aktif sebesar 70,29%. Sementara itu jumlah koperasi CU pada tahun 2014 mencapai jumlah 921 unit dengan nilai aset sebesar Rp. 20 triliun yang berarti jumlah anggota per unit 2.555 orang dengan nilai aset sebesar Rp. 21,7 milyar per unit koperasi. Untuk koperasi binaan pemerintah dengan jumlah 209.488 unit koperasi dengan jumlah anggota rata-rata 174 orang per unit dengan nilai modal Rp. 200,6 triliun atau Rp. 958,- juta per unit koperasi.

Pada tahun 2015 ini, terdapat dua pandangan mengenai koperasi. Pertama, aliran universalis yang dirintis oleh Ibnoe Soedjono yang memandang koperasi sebagai sistem ekonomi mikro dalam perekonomian pasar bebas. Kedua adalah aliran Koperasi Indonesia yang memandang koperasi sebagai sistem ekonomi mikro maupun makro. Pandangan ini dianut oleh Subiakto Tjakrawerdaya dan Muslimin Nasution, keduanya adalah murid Bustanul Arifin. Tetapi kedua ada perbedaannya. Muslimin Nasution berpandangan akan koperasi sebagai sistem ekonomi makro direstorasi sebagaimana yang berlaku di masa Orde Baru, dimana terjadi sinergi antara koperasi dengan BULOG dan BRI. Sementara itu Subyakto ingin melakukan reformasi dengan menjadikan BULOG sebagai trading house Koperasi dan BRI menjadi Bank Koperasi. Ia juga menyusun arsitektur ekonomi rakyat berbasis koperasi yang mencakup IKOPIN sebagai lembaga pendidikan dan Koperasi Audit sebagai lembaga audit koperasi dalam suatu arsitektur kelembagaan.

Baik Subiakto Tjakrawerdaya maupun Muslimin Nasution sebenarnya mengikuti tradisi Boedi Oetomo yang menurunkan kaum birokrat yang membangun koperasi. Demikian pula Sularso, tetapi ia mengikuti tradisi Ibnoe Soedjojo agar koperasi berkembangan dalam koridor Jatidiri Koperasi ICA. Sementara itu tokoh muda Suroto, mantan Ketua LP3I yan dibangun oleh Ibnoe Soedjojo, mengikuti tradisi PBI di bawah Dr. Boedi Oetomo. Sedangkan Sri-Edi Swasono mengikuti tradisi Hatta sebagai akademisi yang ikut serta membangun koperasi berdasarkan ilmu perkoperasian. 
Oleh: M. Dawam Rahardjo.
Jakarta, 25 Mei 2015.