EKONOMI POLITIK KEBANGKITAN BANGSA



Oleh: M. Dawam Rahardjo
Rektor UP45 (The University of Petroleum) Yogyakarta. 

Kawasan kepulauan Nusantara, yang kini disebut Indonesia, sebenarnya pernah mengalami kemakmuran dan puncak kejayaan ekonomi di dunia, yaitu antara abad ke-12 M hingga ke-16 M. Dalam teori pentahapan perkembangan ekonomi, pada waktu itu Indonesia berada pada tahapkapitalisme perdagangan yang berpusat di kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir, baik di Jawa maupun pulau-pulau lain di luar Jawa, yang pada masa itu umumnya merupakan pemerintahan monarki yang mandiri. Sumber kemakmuran kawasan pada waktu itu adalah perdagangan komodti tanaman komersial, berupa tanaman komoditi rempah-rempah yang dibutuhkan oleh dunia (semisal migas sekarang), dan barang-barang kerajinan, baik produksi dalam maupun luar negeri. Perdagangan pada waktu itu dijalankan oleh kelas feodal. Sementara, perekonomian rakyat memproduksi bahan pangan dan komoditi perdagangan.
Struktur perekonomian pada waktu itu memang bercorak dualistis, namun tidak dikotomis, karena tidak ada kemiskinan massal, dimana kebutuhan dasar masyarakat pada dasarnya terpenuhi. Pada waktu itu stratifikasi sosial masih longgar. Berada di tingkat atas adalah kelas ulama dan pujangga, berada di tingkat kedua adalah kelas pemerintahan, di tingkat ketiga adalah kelas pedagang dan pengusaha, dan kelas paling bawah adalah petani dan pengrajin. Pada waktu itu sistem perbudakan masih berlaku, tapi tidak menonjol, sehingga ada juga lapisan under-classyang kecil. Kemakmuran itu ditandai oleh bentuk struktur sosial yang diagonal, dimana golongan menengah merupakan golongan yang paling dominan, sementara kelas elite dan budak merupakan minoritas.
Sistem itu pada abad ke-17 dirusak oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah perusahaan dagang besar yang mendapatkan hak-hak politik, seperti memiliki angkatan bersenjata, mengumumkan perang dan damai, serta melakukan kolonisasi. Dengan politik devide et impera (divide and rule), VOC menguasai kerajaan-kerajaan pribumi dan memaksa kerajaan-kerajaan feodal itu menyerahkan barang-barang dagangan mereka dalam genggaman monopoli. Sejak itu mulailah sistem eksploitasi terhadap petani dan buruh tani. Sementara itu VOC dalam perjalanannya telah berkembang menjadi sebuah perusahaan yang penuh korupsi, sesuatu yang pada akhirnya membangkrutkannya. Perusahaan tersebut akhirnya diambil alih oleh negara kolonial yang secara tidak langsung berada di bawah kendali kerajaan Perancis yang sedang dipimpin Napoleon Bonaparte (1769-1821). Pada masa itulah dimulai pembangunan sejumlah prasarana ekonomi, seperti jalan-jalan perdagangan, melalui sistem kerja paksa. Perekonomian koloni Hindia Belanda mengambil bentuk—meminjam istilah Max Weber—sebagai Kapitalisme Negara, atau Negara Merkantilisme Kolonial. Disebut Merkantilisme karena pada dasarnya praktik perekonomian kolonial itu bertujuan membangun kekayaan negara. Dalam merkantilisme kolonial ini yang kaya adalah negara penjajah, sementara rakyat dan bumi kepulauan Nusantara menjadi sasaran ekploitasi, di antaranya melalui sistem Tanam Paksa (1830-1870).
Secara umum kita bisa mengatakan bahwa kepulauan Nusantara merupakan perekonomian yang produktif, hanya saja hasil produksinya itu telah dialienasi dari masyarakatnya. Surplus ekonominya hanya dinikmati oleh pemerintahan kolonial asing. Karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kepulauan Nusantara yang menjadi negara kolonial Hindia itu merupakan entitas ekonomi yang mampu berkembang, namun sistem ekonominya menyebabkan masyarakatnya miskin karena tertindas dan tereksploitasi.
Sistem Tanam Paksa dihentikan pada tahun 1870 dan diganti dengan sistem perekonomian liberal, dimana semua unsur dan kelompok masyarakat mendapat kebebasan untuk melakukan aktivitas ekonomi. Dalam iklim kebebasan, terutama kebebasan dalam pemilikan lahan pertanian, yang mampu tampil adalah kelompok pengusaha perkebunan, sementara rakyat yang telah jatuh miskin tidak mampu memiliki lahan pertanian dan hanya mampu menjadi penggarap. Mereka juga tidak memiliki modal, sehingga harus meminjam dari para rentenir dengan tingkat rente yang sangat tinggi. Karena itu maka rakyat pribumi hanya bisa mengerjakan lahan yang sempit yang terus-menerus mengalami fragmentasi melalui sistem pewarisan. Dengan lahan yang sempit itu mereka hanya mampu memproduksi hasil tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga sistem pertanian rakyat disebut sebagai sistem pertanian subsisten. Sementara itu, mereka yang tidak memiliki tanah atau lahan gurem terpaksa menjadi buruh tani. Di atas semua serba-kekurangan itu mereka masih harus membayar pajak kepada pemerintah kolonial.
Sistem liberal yang terus berlangsung hingga akhir pemerintahan kolonial tahun 1939, menghasilkan sistem ekonomi yang dualistis, yang intinya adalah sektor pertanian rakyat yang bersifat subsisten dan sektor perkebunan besar asing yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar asing yang memproduksi tanaman komersial untuk ekspor. Sistem perekonomian dualistis inilah yang diwariskan kepada negara Rapublik Indonesia sejak 1945.
Dalam pemikirannya mengenai sistem ekonomi bagi Indonesia, Mubyarto (1938-2005) memikirkan perlunya dibangun suatu sistem perekonomian nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang mengandung konstitusi ekonomi itu, yang dua dari lima cirinya adalah egalitarianisme dan nasionalisme. Sistem yang disebutnya Sistem Ekonomi Pancasila itu, dalam pandangan Mubyarto, memungkinkan Indonesia menjadi sebuah negara yang adil dan makmur. Namun masih menjadi pertanyaan besar, bagaimana negara yang adil dan makmur itu bisa dicapai?
Upaya untuk mencapai masyarakat adil dan makmur itu sudah dilakukan sejak awal kemerdekaan. Ketika itu pola pembangunannya mengarah kepada sosialisme, dimana peranan perusahaan-perusahaan asing digantikan oleh perusahaan-perusahaan negara di bidang perdagangan, perkebunan, pertambangan, transportasi dan perbankan. Pola ini berakhir pada tahun 1965, ketika inflasi melonjak hingga setinggi 650%. Lonjakan inflasi itu terjadi paling tidak karena dua hal, pertama karena negara mengadalkan pembiayaannya dengan mencetak uang; dan kedua karena negara terlalu banyak membiayai proyek-proyek politik sebagai simbol kejayaan bangsa. Menilai arah haluan negara pada waktu itu, Widjojo Nitisastro mengeluarkan pendapat dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Fakultas Ekonomi UI pada tahun 1963, agar negara memperhatikan pembangunan ekonomi dengan melakukan perumusan kebijaksanaan ekonomi yang rasional. Peringatan ini sebelumnya sebenarnya telah dilakukan oleh Bung Hatta dalam berbagai kesempatan. Ia menganjurkan dihentikannya haluan revolusi untuk digantikan dengan haluan pembangunan ekonomi.
Upaya melaksanakan politik pembangunan ekonomi secara besar-besaran dimulai pada tahun 1967 oleh pemerintahan Orde Baru. Mirip dengan pergantian kebijaksanaan ekonomi liberal pada masa kolonial, pada tahun 1970-an Orde Baru juga melakukan liberalisasi ekonomi. Ciri utamanya adalah memberi kesempatan kepada sektor swasta, termasuk asing, untuk menjadi pelaku pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, pemerintah tidak meninggalkan sektor negara dan koperasi. Keduanya juga dibangun dengan dukungan anggaran yang besar. Dengan demikian maka kebijaksanaan ekonomi Orde Baru pada dasarnya bersifat dualistis, yang pada dasawarsa 1980-an menghasilkan dua sektor yang dikotomis, yaitu yang disebut oleh Mubyarto dan Kwik Kian Gie sebagai sektor konglomerat dan sektor ekonomi rakyat.
Dengan masuknya kekuatan swasta domestik dan asing maka Indonesia telah bangkit perekonomiannya melalui proses industrialisasi. Pada belahan abad ke-19, Hindia Belanda sebenarnya memiliki kesempatan untuk melakukan industrialisasi. Berbagai syarat telah dapat dipenuhi. Pertama adalah pembentukan modal yang berlangsung pada masa Tanam Paksa maupun masa liberal. Kedua adalah akses teknologi dengan terbangunnya ratusan ketel mesin tenaga uap. Ketika itu, dengan sektor pemimpinnya industri gula, Hindia Belanda bisa bersama-sama melakukan industrialisasi bersama-sama dengan Jepang. Namun dua syarat utama lain tidak ada pada waktu itu. Pertama tiadanya investasi walaupun ada sumber permodalannya. Ini terjadi karena sementara pembentukan modalnya terjadi di Hindia Belanda (Indonesia), tetapi investasinya terjadi di Belanda. Syarat kedua yang tidak terpenuhi adalah tidak adanyaentrepreneur di Hindia Belanda, sehingga, kata Boeke, tidak seperti halnya di Jepang, penduduk pribumi tidak melaksanakan sendiri pembangunan industrinya, melainkan dilakukan oleh orang Eropa.
Pada masa Orde Baru, dua syarat yang tidak terpenuhi pada belahan kedua abad ke-19 itu dipenuhi. Pertama, modal tersedia. Dua sumber utama adalah utang luar negeri dan penerimaan negara hasil eksploitasi minyak dan gas bumi. Kedua, pelaku industrialisasinya adalah pengusaha asing dan pengusaha domestik. Pelaku domestik itu ada dua kelompok. Pertama adalah kelompok perusahaan negara dan kedua adalah pengusaha keturunan etnis Tionghoa. Dari kelompok pribumi juga ada, tetapi terbatas jumlahnya. Kelompok pribumi pada dasarnya bergerak dalam sektor ekonomi rakyat skala mikro dan kecil.
Pada masa Orde Baru, perekonomian nasional memang telah memasuki tahap tinggal landas (take off), berdasarkan kriteria Rostow Investasi baik dari swasta maupun publik telah melebihi angka 10%. Sektor manufaktur juga berkembang dengan beberapa sektor yang memimpin. Pada dasarnya, pola industrialisasi di masa Orde Baru disebut sebagai industrialisasi substitusi impor (import substitution industrialization).
Namun pola industrialisasi ini mengandung beberapa masalah. Pertama, industrinya bukan mengolah bahan mentah dari Indonesia sendiri, melainkan mengolah bahan baku dan bahan penolong yang diimpor. Kedua, modalnya berasal dari luar, walaupun sebenarnya hanyalah modal pancingan saja karena modal kerja selanjutnya dipakai dari pinjaman bank yang menggali dari uang rakyat Indonesia juga. Ketiga, pelakunya adalah perusahaan-perusahaan asing sehingga keuntunganya lari keluar negeri lagi.
Sebenarnya pemerintah waktu itu sudah berusaha mengurangi ketergantungan dengan memproduksi bahan baku dan alat-alat secara domestik sehingga dibentuk kementerian penggunaan produk-produk dalam negeri di bawah Ginandjar Kartasasmita. Namun pada tahun 1980-an, dengan tekanan globalisasi pasar bebas, pemerintah melakukan politik liberalisasi tahap kedua, yaitu membebaskan industri untuk memakai bahan baku dan penolong impor jika lebih murah dan memenuhi standar mutu. Karena itu maka politik kemandirian ekonomi putus di tengah jalan.
Dalam rangka politik perekonomian yang nasionalis, pemerintah juga mengembangkan industri strategis di bidang transportasi darat, laut, dan udara yang memiliki pasar domestik yang luas yang dirumuskan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi yang waktu itu dijabat B.J. Habibie. Gagasan pengembangan industri strategis itu kemudian bertransformasi menjadi strategi industrialisasi berbasis nilai tambah tinggi. Strategi ini didasarkan teori keunggulan kompetitif. Di bawah pimpinan Habibie keunggulan kompetitif itu dapat diraih sehingga memungkinkan Indonesia mengembangkan industri strategis.
Dalam rencana, dengan berkembangnya industri strategis ini, ekonomi rakyat bisa terangkat melalui peranannya sebagai vendor dengan memproduksi komponen dan suku cadang industri strategis, seperti kendaraan darat pribadi, penumpang dan angkutan barang, industri perkapalan dan industri dirgantara. Tapi strategi ini mendapat oposisi, karena dianggap melompat, mempergunakan teknologi super-canggih dan membutuhkan biaya investasi yang besar. Akhirnya industri transportasi yang berorienatasi pada pasar domestik maupun ekspor itu atas desakan IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia dihentikan secara drastis dan pemerintahan di era reformasi tidak lagi memberikan dukungan politik. Sebenarnya industri stategis ini bisa menjadi kendaraan kebangkitan ekonomi bangsa yang sesuai dengan faktor geografi ekonomi Indonesia yang berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan regional dan internasional yang merupakan salah satu sumber akumulasi dan pembentukan modal.
Langkah penting lain yang telah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru adalah pengembangan teknologi dan sumber daya manusia. Penelitian teknologi terutama teknologi tepat guna telah dilakukan di Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), perguruan tinggi, dan berbagai lembaga penelitian. Sejalan dengan itu, pendidikan Indonesia telah banyak menghasilkan ilmuwan peneliti dan praktisi yang andal sejak dari peternakan lele hingga teknologi dirgantara dan kemudian teknologi informasi. Hanya saja, hasil kajian itu berhenti sebagai arsip dan tidak ditransformasi menjadi inovasi usaha.
Sungguhpun demikian, pemerintah Orde Baru telah meletakkan dasar-dasar kebangkitan ekonomi bangsa. Pertama, Indonesia telah membangun berbagai sektor industri yang berkelanjutan (sustainable). Kedua, telah terbangun kelembagaan ekonomi sebagai pelaku industrialisasi dan perkembangan ekonomi. Ketiga telah tersedia sumber daya manusia yang bisa berperan dalam berbagai fungsi perkembangan ekonomi. Keempat telah meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan, sehingga membentuk pasar domestik yang luas.
Namun beberapa kelemahan masih menghadang jalan menunju industrialisasi nasional. Pertamabelum tersedianya dana besar untuk investasi besar. Di bidang migas-pun, pelaku usahanya masih perusahaan-perusahaan multi-national (MNC) seperti Chepron, Exxon-Mobil, Caltex atau Total. Sedangkan perusahaan nasional masih bisa dihitung dengan jari tangan, misalnya Pertamina, Medco dan Bumi Resources. Kedua, masih adanya ketergantungan teknologi tinggi, dimana teknologi tinggi masih harus diimpor. Dan ketiga, produktivitas industri masih belum kompetitif dilihat dari masih tingginya harga produk yang tidak mampu bersaing dengan barang-barang dari Jepang atau Eropa-Amerika.
Kebangkitan ekonomi Indonesia memang harus ditempatkan pada perspektif komparatif. Pertama adalah persaingan dengan negara-negara kecil seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura. Kedua persaingan dengan negara-negara besar yang menjadi kekuatan dunia baru, yaitu Cina, India dan Brasil. Ketiga adalah persaingan di antara negara-negara ASEAN, yaitu Malaysia, Thailand, Filipina, dan bahkan juga dengan Vietnam yang dinamis itu.
Sebagai negara yang berbasis pertanian, Indonesia perlu membandingkan dirinya dengan Thailand dan Malaysia. Thailand sekarang sudah memasuki tahap negara industri baru. Tapi masuknya ke tahap industri itu didahului dengan perkembangan dan pembangunan pertanian. Salah satu keuntungan Thailand adalah tidak pernah menjadi negara jajahan sehingga bisa lebih independen (karena masih dipengaruhi oleh negara-negara tetangga jajahan) menentukan strategi pembangunan pertaniannya. Dalam kaitan ini Thailand menempuh strategi pembangunan yang berpijak pada dua kaki. Pertama adalah menjadi negara produsen bahan pertanian, khususnya beras, jagung ubi kayu, peternakan unggas (khususnya ayam) dan perikanan laut. Kedua, pengembangan pertanian perkebunan besar, khususnya karet. Meskipun demikian, orientasi pasar pertanian Thailand adalah pasar domestik maupun ekspor, misalnya beras, dimana Thailand adalah pengekspor beras dunia terkemuka. Haluan Thailand ini diikuti oleh Vietnam yang juga berhasil menjadi negara pengeskpor beras, termasuk ke Indonesia. Dalam strategi ini, ketahanan pangan dicapai tetapi sekaligus pangan menjadi tanaman komersial (commercial crop). Indonesia sendiri pada masa lalu pernah menjadi negara pengekspor beras dunia. Raja Mataram Amangkurat II, dalam rangka menjaga ketahanan pangan domestik pernah melarang ekspor beras. Kebangkitan ekonomi Thailand sebenarnya berbasis pada dua sektor utama, yaitu karet dan perikanan skala besar yang menghasilkan devisa besar, sehingga menjadi sumber akumulasi modal. Salah satu strategi pembangunan pertanian di Thailand dewasa ini adalah dengan menerapkan sistem agribisnis. Misalnya Thailand membuka perkebunan singkong yang luas dalam rangka mendukung industri pengolahan pangan yang membentuk nilai tambah bagi sektor pertanian dan petani. Strategi lainnya adalah mengorientasikan produk pertanian, pangan maupun perkebunan, ke pasar ekspor yang menghasilkan devisa. Dengan basis pembangunan pertanian ini, Thailand kemudian mengembangkan industrinya, misalnya yang menonjol adalah industri tekstil yang dipasarkan di antara rakyat petani maupun penduduk kota. Industri di Thailand cukup kompetitif karena kebutuhan pokok masyarakat, khususnya pangan, terpenuhi.
Atas dasar pertanian dan industri, Thailand kemudian membangun sektor pariwisata. Salah satu kekuatan sektor pariwisata yang berbasis budaya itu (dengan candi-candi Buddha yang megah) adalah industri kuliner yang unggul yang mengolah hasil-hasil pertanian darat dan perikanan. Berbasis pariwisata itu, dengan memanfaatkan lokasi Thailand yang menghubungkan negara-negara Timur Tengah dengan Asia Timur dan Tenggara. Dalam kaitan ini Thailand mengembangkan industri transportasi udara, Thai Air, yang unggul dan kedua terbaik di dunia sesudah Singapore Airlines. Dengan modal itulah Thailand memantapkan diri menjadi negara industru baru yang sedang berkembang (newly industrializing country) di Asia Tenggara.
Malaysia pada dasarnya menempuh strategi berpijak pada dua kaki yang serupa dengan Thailand. Namun Malaysia lebih menonjol usaha perkebunan besarnya, terutama di bidang kelapa sawit yang langsung dilanjutkan dengan industri pengolahannya. Di samping minyak goreng, bahan kelapa sawit juga dibuat industri sabut sebagai bahan industri. Langkah strategis yang dilakukan oleh Malaysia adalah menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dan sahamnya kemudian dijual kepada kelompok pribumi Melayu yang besarnya 40% dari penduduk seluruhnya, sehingga meningkat bagian pendapatannya dari 6% pada tahun 1969 menjadi 30% dari pendapatan nasionalnya (Gross National Income) pada dasawartsa 1980-an. Di samping itu Malaysia juga mengembangkan sektor keuangannya melalui sistem perbankan dan keuangan Islam dan memanfaatkan dana Timur Tengah. Di samping itu sebagai negara yang memiliki tambang migas, telah berhasil pula mengembangkan industri migas, terutama melalui Petronas. Malaysia juga berhasil membentuk modal dari tabungan haji yang menjadi basis perbankan dan keuangan Islam. Dengan modal yang terakumulasi itu, Malaysia memiliki sumber investasi bagi industrinya. Malaysia berhasil mengembangkan industri manufaktur dan juga industri transportasi darat melalui kerja sama dengan perusahaan mobil Korea Selatan. Malaysia dewasa ini juga sedang menggolongkan dirinya sebagai negara industri baru yang sedang berkembang di Asia Tenggara, menyusul Singapura.
Dalam pembangunan ekonomi, Indonesia bisa pula menengok Taiwan yang mengembangkan usaha skala kecil di bidang pertanian dan industri. Strategi yang ditempuh Taiwan adalah meningkatkan penggunaan teknologi di bidang pertanian sejak dari pembibitan hingga pengolahan hasil pertanian yang juga berorientasi ke pasar ekspor. Di samping itu pola industrialisasinya adalah industri skala kecil dan menengah yang berorientasi ekspor. Di samping memproduksi barang konsumsi Taiwan juga menghasilkan barang-barang modal, khususnya teknologi sederhana yang banyak dipakai di negara-negara sedang berkembang.
Selama Orde Baru, perekonomian Indonesia sebenarnya juga sudah mengalami kebangkitan, baik melalui sektor pertanian maupun industri. Selama tiga dasawarsa perekonomian Indonesia telah berhasil tumbuh rata-rata 7% per tahun. Bank Dunia pernah menyebut Indonesia sebagai salah satu “keajaiban ekonomi” (economic miracle). Di bidang pertanian, Indonesia pernah mencapai tahap swasembada pangan pada tahun 1985, dan dalam pengendalian penduduk Indonesia pernah mendapatkan penghargaan internasional. Prestasi lain adalah menurunkan angka kemiskinan dari sekitar 60% pada tahun 1970-an menjadi sekitar 11% pada akhir dasawarsa 1990-an. Namun Indonesia masih berada di buritan jika dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam yang kini kian berkembang pesat.
Namun keberhasilan perkembangan ekonomi Indonesia di masa lalu mengandung banyak catatan. Pertama, Indonesia menjadi salah satu negara pengutang terbesar di dunia yang sekarang pembayarannya memberikan beban yang sangat berat pada APBN. Kedua, Indonesia mengalami kerusakan yang berat dalam lingkungan hidup (khususnya di bidang kehutanan), dan terkurasnya sumber migas, sehingga Indonesia sudah menjadi negara net-importer minyak bumi, walaupun masih bisa mengekspor gas. Ketiga, secara ironis Indonesia masih mengimpor bahan pangan seperti beras, jagung, kedelai, singkong, kedelai, gula dan susu. Keempat, di bidang industri Indonesia masih mengimpor teknologi dan bahan baku dan belum mampu mengolah banyak hasil pertanian, kelautan dan kehutanannya sendiri. Dengan perkataan lain, Indonesia masih menjadi eksportir bahan mentah dengan nilai tambah rendah. Kelima, Indonesia belum mampu melaksanakan konstitusi yang mengamanatkan koperasi sebagai soko-guru perekonomian. Dan keenam, perekonomian Indonesia pada dasarnya masih bersifat dualistis yang antagonistis antara sektor konglomerat dan ekonomi rakyat yang mendominasi struktur perekonomian nasional.
Dengan demikian, pembangunan telah menimbulkan masalah-masalah baru yang harus diatasi sebelum bisa mengalami kebangkitan. Pertama, Indonesia harus bisa melepaskan diri dari ketergantungan dan beban utang luar negeri. Jika belum maka peranan negara sebagai bagian utama pembangunan akan mengalami banyak hambatan dalam melakukan transformasi perekonomian. Mengatasi masalah utang ini tidak mudah, karena akan menguras hasil pajak dan penerimaan negara, padahal Indonesia sudah kehilangan sumber devisa dan di lain pihak menghapus defisit dalam APBN.
Kedua, Indonesia harus memulihkan sumber daya alamnya dari kerusakan besar yang telah terjadi. Hutan tropis harus direboisasi. Untuk menghentikan abrasi pantai dan melestarikan sumber daya biota laut, hutan mangrove harus direhabilitasi dan dipelihara, terumbu karang harus direhabilitasi, dilindungi dan dipelihara untuk kelestarian biota laut. Eksploitasi tambang energi yang sudah kritis harus digantikan dengan pengolahan energi alternatif terutama dari pertanian. Dengan demikian, maka lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan utama yang harus diprioritaskan.
Ketiga, Indonesia harus mencapai swasembaga pangan dan pertanian, semua bahan impor yang dapat diproduksi sendiri harus diproduksi sendiri sehingga tidak pelu mengimpor lagi, karena impor bahan pertanian ini menghabiskan devisa. Bahan pangan impor ini jelas merupakan ceruk pasar, sehingga kegiatan produksi untuk pemenuhan kebutuhan sendiri memiki potensi pasar dan mengandung nilai komersial.
Di sini, produksi untuk pemenuhan kebutuhan sendiri tidak bertentangan dengan produksi untuk pasar.
Keempat, Indonesia harus memulai produksi barang modal, berupa mesin-mesin, alat-alat, bahan baku dan penolong industri. Program pemakaian produk dalam negeri harus digalakkan. Demikian pula Indonesia harus mengolah bahan dari sumber alam, seperti pertanian, perkebunan, kelautan, kehutanan dan pertambangan. Proses ini perlu dilakukan untuk menciptakan nilai tambah. Indonesia harus berhenti menjadi pengekspor bahan mentah dan harus memulai dengan mengekspor barang jadi yang telah diolah, misalnya rotan. Adalah suatu ironi bahwa Cina yang mengimpor bahan mentah rotan dari Indonesia, menjadi pusat unggulan barang-barang dari rotan.
Kelima, pemerintah harus melanjutkan pembangunan koperasi yang telah dimulai pada masa Orde Baru. Indonesia memiliki jumlah koperasi yang sangat besar, namun hingga kini belum ada koperasi yang dapat digolongkan sebagai koperasi Global 300 ICA (International Cooperative Alliance), dengan nilai aset minimal US$ 6,5 miliar. Bahkan belum juga ada yang tergolongGlobal Developing Cooperative 300, padahal koperasi dari negara yang jauh lebih kecil, misalnya Kosta Rika, Kolombia, Kenya, Korea Selatan, bahkan Vietnam dan Thailand telah masuk dalam daftar ini. Pembangunan koperasi harus merupakan prioritas karena merupakan amanat konstitusi. Pembangunan koperasi itu sekaligus juga merupakan pembangunan usaha mikro, kecil dan menengah.
Keenam, mengikuti Taiwan dan Cina, Indonesia harus membangun usaha mikro, kecil dan menengah dalam kerangka koperasi, sehingga merupakan soko guru perekonomian Indonesia yang akan membentuk masyarakat belah ketupat yang didominasi oleh golongan menengah. Ini berarti mengintegrasikan perekonomian yang dualistis.
Dengan demikian, maka sebelum bisa mengalami kebangkitan ekonomi dalam kancah global, diperlukan masa transisi. Masa transisi ini adalah kemandirian ekonomi nasional. Rostow dalam teorinya mengenai tahap-tahap pertumbuhan ekonomi (stages of economic growth), masyaratkan tiga faktor utama ke arah tinggal landas. Pertama adalah ketersediaan modal dan kesiapan investasi sebesar 10% dari GNI. Kedua, ketersediaan wirausaha yang disyaratkan oleh McClelland sebesar 2% dari jumlah penduduk. Jika penduduk Indonesia diperkirakan 250 juta, maka diperlukan 5 juta wiraswasta. Ada dua macam wirausaha. Pertama yang berasal dari pemilik modal yang berani mengambil risiko berusaha. Kepemilikan modal ini bisa diakses dari dana pinjaman, sehingga karena itu perlu diperhitungkan lembaga-lembaga keuangan dan perbankan yang menghimpun modal. Kedua adalah mereka yang memiliki keterampilan teknis atau mampu melaksanakan suatu penemuan teknologi. Dewasa ini sebenarnya telah banyak temuan-temuan teknologi. Sebagai intermediasi antara wirausaha dan sumber modal dan teknologi, diperlukan peranan antara yang disebut wiraswasta sosial (social entrepreneur). Faktor ketiga adalah kesediaan untuk memanfaatkan hasil ilmu pengetahuan dan teknologi, atau kalau dibalik, aliran informasi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat. Di Indonesia aliran informasi ini masih sangat kurang. Hasil penelitian teknologi masih banyak yang tersimpan dalam arsip dan tidak disebarkan kepada masyarakat untuk dimanfaatkan.
Dalam teorinya, Rostow pertama-tama menyebut tahap tradisional. Rostow tidak banyak berbicara mengenai masyarakat tradisional ini. Kondisi tradisional ini dibahas oleh Boeke dalam analisisnya mengenai masyarakat pra-kapitalis. Namun Boeke menganggap bahwa masyarakat pra-kapitalis Hindia Belanda itu sebagai kondisi asli dan bukannya sebagai hasil atau dampak suatu perkembangan. Karena itu perlu dilakukan wacana mengenai sebab-sebab kondisi pra-kapitalis itu yang berarti menguraikan faktor-faktor struktural yang menghambat perkembangannya.
Kondisi kekurangan modal seperti yang disebut dalam teori lingkaran kemiskinan Ragnar Nurkse perlu diselidiki sebab-sebabnya. Di Indonesia yang agraris, sebab kemiskinan pertama-tama adalah sempitnya pemilikan tanah. Seharusnya setiap keluarga petani bisa memiliiki minimal 2 hektar lahan garapan. Tapi Indonesia memerlukan pembaharuan agraria (agrarian reform) untuk menata ulang kepemilikan lahan. Kedua adalah terbelakangnya teknologi produksi. Dengan perkataan lain, diperlukan usaha peningkatan produktivitas lahan per hektar. Dalam hal ini Indonesia masih jauh ketinggalan dari negara-negara pertanian lainnya. Ketiga adalah masih kecilnya nilai tambah pertanian, karena hasil pertanian belum dijual dalam bentuk olahan. Oleh sebab itu sumber akumulasi modal itu harus dikembangkan, agar pertanian menjadi sumber pembentukan dan akumulasi modal. Selanjutnya perlu dikembangkan lebih lanjut lembaga-lembaga keuangan, guna membentuk modal besar yang bisa dipinjamkan kepada masyarakat untuk menunjang investasi.
Sebenarnya Indonesia pada masa Orde Baru sudah memenuhi syarat ketersediaan modal dan investasi Rostow. Hanya saja modal itu diperoleh dari pinjaman luar negeri dan modal asing. Di masa datang modal itu harus digali dari sumber domestik sendiri, lewat peningkatan pendapatan masyarakat dan pemberantasan kemiskinan.
Dalam proses pembentukan dan akumulasi modal ini, Indonesia harus belajar dari sejarahnya sendiri dan pengalaman negara lain. Di masa lalu, negara-negara kapitalis maju telah mengalami proses pembentukan dan akumulasi modal lewat eksploitasi sumber daya alam dan manusia yang sering tidak manusiawi. Indonesia pernah mengalami masa VOC, Tanam Paksa, dan Kebijaksanaan Liberal dalam kerangka kolonialisme. Cara itu tidak bisa diulang, sehingga harus dicari cara-cara lain. Cara-cara baru itu sudah dicontohkan oleh negera-negara lain, misalnya Taiwan, Thailand atau Malaysia, yaitu dengan mengembangkan sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam secara canggih dan berkelanjutan. Teknik-teknik itu masih bisa diperbaiki lagi berkat temuan-temuan baru. Namun pada dasarnya pola pembangunan yang dilaksanakan berpijak pada dua kaki, pertama pola swasembada dan kedua adalah pola komersial yang dilakukan bersama-sama secara seimbang dan tidak bertentangan. Pada dasarnya pembangunan pertanian itu harus dikaitkan dengan pembangunan lingkungan hidup yang merupakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Berdasarkan preseden perkembangan ekonomi, pengembangan ekonomi berpola swasembada itu dilakukan melalui sistem ekonomi kerakyatan dalam bentuk pertanian rakyat, perikanan rakyat dan kehutanan rakyat dalam wadah koperasi. Sektor ini merupakan sokoguru perekonomian. Sedangkan pengembangan sektor pertanian skala besar atau perkebunan harus dilakukan oleh BUMN dan swasta besar yang bekerja sama dengan koperasi dalam bentuk perkebunan Inti-Rakyat yang didasarkan pada prinsip partisipasi dan emansipasi, seperti dirumuskan oleh Sri-Edi Swasono, yang mengoreksi sistem mobilisasi yang mengandung unsur eksploitasi dan dominasi yang masih berlaku itu.
Ekonomi perkebunan merupakan sumber akumulasi modal yang sangat berpotensi. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit merupakan penghasil kebutuhan pangan yang sekaligus merupakan tanaman yang komersial, lebih-lebih jika didukung dengan industri pengolahan. Dewasa ini perkebunan belum seimbang dengan industri pengolahan, sehingga banyak hasil perkebunan rakyat yang harganya jatuh karena tidak ada pembelinya. Pembeli hasil kelapa sawit bukan konsumen langsung, melainkan pembeli institusional, yaitu sektor industri. Karena itu harus ada industri pengolahan yang terpisah maupun merupakan bagian hilir dari perkebunan. Pola ini bisa dikembangkan lebih lanjut, misalnya dengan pengembangan perkebunan enerji yang berbahan pohon enau atau ubi kayu. Pohon enau dapat pula berfungsi sebagai pohon konservasi air dan tanah yang bisa ditumpang sari dengan tanaman lain.
Pada dasarnya pembangunan pertanian dilakukan dalam rangka mencapai perekonomian swasembada dan mandiri serta merupakan tulang punggung industrialisasi. Kemakmuran petani akan membentuk pasar untuk hasil produksi. Sedangkan nilai tambah pertanian akan merupakan sumber modal dan investasi skala besar. Kebangkitan ekonomi Indonesia akan terjadi jika telah berlangsung industrialisasi yang merupakan tinggal landas perekonomian dengan basis pertanian dan pasar domestik yang kuat.
Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lain adalah pariwisata. Indonesia memiliki potensi pariwisata darat dan laut yang sangat potensial. Sektor pariwisata domestik maupun mancanegara mampu menciptakan lapangan kerja dan lapangan usaha dan sekaligus juga menghasilkan devisa yanmg sangat potensial. Potensi pariwisata ini tersebar di seluruh Indonesia, sehingga menimbulkan transportasi antar-pulau. Di samping pesisir, pula-pulau kecil berpasir putih merupakan obyek kunjungan wisata yang menarik, baik domestik maupun mancanegara. Masalahnya adalah memenuhi komponen-komponen wiraswasta, seperti obyek wisata, perhotelan dan penginapan, restoran atau industri kuliner, seni budaya atau kerajinan souvenier.
Ringkasnya, dengan mengawinkan pembangunan swasembada dan komersial, Indonesia bisa menggapai kebangkitan ekonomi secara lebih sempurna. Tinggal pertanyaannya kini adalah: apakah kita memiliki karsa kebangkitan itu? Dan seberapa besar karsa itu telah mengatur keputusan-keputusan kita terkait pengelolaan ekonomi bangsa?
*) Makalah disampaikan pada Seminar KAGAMA dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional, Mei 2011