KETIDAKEFEKTIFAN NEGARA DALAM KEBIJAKAN PENCABUTAN SUBSISI BBM tahun 2005-2006

PENDAHULUAN
Teori terbentuknya Negara adalah karena adanya kebutuhan manusia yang beraneka ragam dan tidak ada satu manusia pun yang dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri, maka dari itu dibentuklah negara.(Plato dalam Imam Hidajat,2009:20)
Menurut Francis Fukuyama (2004:18) dikatakan bahwa Indikasi kuat atau lemahnya negara dapat dilihat dari fungsi negara (state function) dan kapasitas negara (state capacity).
Menurutnya negara yang kuat atau negara yang efektif adalah negara yang memiliki kapasitas yang kuat, baik dengan fungsi yang banyak maupun sedikit. Sebaliknya negara dikatakan lemah atau tidak efektif apabila suatu negara tidak memiliki kapasitas yang kuat dalam menjalankan fungsinya.
Kapasitas negara yang dimaksud disini adalah sejauh mana negara mampu menjalankan fungsinya dengan baik yaitu fungsi dalam mengelola barang-barang politik (political goods) seperti keamanan, tata hukum sebagai standar perilaku yang meregulasi interaksi penduduk, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau dan merata, penyediaan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi, sistem uang dan perbankan yang stabil, kesempatan ekonom dan lingkungan bisnis yang kondusif, tersedianya ruang publik (public sphere) serta pengawasan dan pengaturan lingkungan. Menurut Francis Fukuyama(2004:60) pelaksanaan fungsi negara dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Manifestasi dari pelaksanaan fungsi dan kapasitas negara diwujudkan dari bagaimana negara tersebut mampu merumuskan, merencanakan dan melahirkan suatu kebijakan yang efektif yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Kebijakan merupakan hasil interaksi dari pemerintah, kondisi struktural, dan proses pengambilan keputusan. Kebijakan merupakan sesuatu yang nyata, tidak abstrak, dan merupakan produk akhir dari sebuah proses negara.(Indrio,2008:63)
Kemampuan negara dalam melahirkan suatu kebijakan yang efektif akan membawa peningkatan kesejahteraan masyarakatnya sehingga menjadikan negara tersebut menjadi negara yang efektif. Sebaliknya apabila suatu kebijakan yang dilahirkan suatu negara tidak membawa peningkatan kesejahteraan kepada masyarakat, dapat dikatakan bahwa negara tersebut adalah negara yang tidak efektif. 
Untuk dapat menilai efektif tidaknya suatu negara dapat juga dilihat dari sejauh mana kebijakan yang dihasilkan oleh negara tersebut berhasil dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Untuk menilai efektif tidaknya suatu kebijakan, dapat dilihat dari evaluasi terhadap kebijakan tersebut. Apabila target dan ekspektasi dari kebijakan tersebut tercapai maka dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut berhasil dan manifestasi pelaksanaan fungsi negara dalam hal pembentukan kebijakan dapat dikatakan efektif juga.
Apabila kita merujuk pada kondisi negara Indonesia, negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat telah melaksakan fungsi dan kapasitasnya sebagai negara sekaligus sebagai pengayom masyakatnya. Manifestasi pelaksanaan fungsi dan kapasitas sebagai suatu negara telah diwujudkan dengan membentuk berbagai macam kebijakan dan aturan.
Yang menjadi pertanyaan mendasar bagi kita adalah “apakah tujuan dari kebijakan yang dihasilkan oleh negara telah terpenuhi? Pertanyaan itu sekaligus merupakan indikator untuk menilai berhasil tidaknya suatu kebijakan. Suatu negara dapat kita kategorikan sebagai negara yang efektif apabila dapat menjawab pertanyaan besar tersebut. Yaitu efektifitas negara yang ditinjau dari kebijakan yang dihasilkan.
Dalam makalah ini, kami tertarik untuk membahas salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah yaitu kebijakan pencabutan subsudi bahan bakar minyak atau yang biasa disingkat dengan BBM. Kebijakan pencabutan subsidi BBM ini telah dilakukan sejak pemerintahan Presiden Baharuddin Jusuf Habiie, Gusdur, Megawati Soekarno Putri dan Sulilo Bambang Yudoyono (SBY).
Dalam makalah ini kami hanya fokus membahas efektifitas kebijakan pencabutan subsidi BBM dan korelasinya terhadap penurunan angka kemiskinan tahun 2005-2006 di era pemerintahan Presiden SBY. Apakah kebijakan tersebut telah sesuai dengan target pemerintah, khususnya dalam rangka menekan angka kemiskinan? Untuk mendapatkan gambaran secara detail mengenai implementasi kebijakan dan dampak yang ditimbulkannya terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, seyogyanya kami harus terjun langsung ke masyarakat yang terkena dampak pencabutan subsidi BBM, tetapi karena berbagai keterbatasan yang ada pada kami, maka kami menilai tingkat efektifitas kebijakan tersebut dengan merujuk pada data evaluasi kebijakan, survei-survei yang dilakukan oleh lembaga research independen.

Studi kasus
Efektifitas Pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak terhadap penurunan angka kemiskinan tahun 2005-2006
1. Latar belakang kebijakan
Pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak atau yang sering disingkat dengan BBM tidak terlepas dari perjanjian pemerintah dengan lembaga Donor internasional yaitu International Monetery Funds (IMF). Perjanjian dengan IMF tersebut diwujudkan dengan penandatanganan Letter of Intent (LoI). Konsekuensi dari perjanjian tersebut adalah pemerintah mematuhi saran dari IMF untuk melakukan kebijakan pencabutan subsidi BBM sebagai salah satu cara dalam rangka pemulihan bangsa dari keterpurukan akibat krisis.
Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM tersebut tertuang dalam Perpres No.55 tahun 2005. Keputusan pencabutan subsidi BBM berimplikasi pada naiknya harga BBM tersebut. Prosentase kenaikan kenaikan harga BBM pada premium sebesar 87,5% , kenaikan pada solar 104,76%, sedangkan minyak tanah turun 9,09%.
Tabel 1.1
Gambaran kenaikan harga BBM pada tahun 2005

PRESIDEN 
TANGGAL 
PREMIUM 
Minyak tanah 
Minyak solar 
SBY 
1/03/2005 
2400 
2200 


2100 



1/10/2005 


4500 


2000 


4300 







dari tabel 1.1 tersebut dapat kita lihat bahwa kenaikan harga BBM sangat signifikan bahkan pada jenis BBM solar kenaikan harganya mencapai 104,76%.


Adapun beberapa latar belakang pemerintah mencabut subsidi BBM adalah sebagai berikut(Indriyo,2008:43)


1. Kenaikan harga minyak dunia yang teramat tinggi sehingga pemberian subsidi terlalu membebani anggaran pemerintah.


2. Pemerintah menganggap bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran sebab meskipun subsidi tersebut dinikmati oleh orang miskin tetapi orang kaya juga menikmatinya bahkan dalam jumlah yang lebih besar.


3. Penyesuaian harga BBM ini memungkinkan pemerintah untuk mengalokasikan lebih banyak dana untuk program penanggulangan kemiskinan seperti bantuan langsung tunai (BLT)


4. Permasalahan subsidi BBM menyangkut masalah perbedaan harga dengan dengan negara lain. Harga BBM di indonesia yang jauh lebih rendah dibanding negara lain membuka kesempatan untuk penyelundupan BBM tersebut ke negara lain.


5. Masalah efisiensi atas kelangkaan sumber daya juga menjadi pemicunya. Asumsi bahwa harga BBM yang terlalu murah mendorong pemborosan pemakaian BBM sehingga dengan dinaikkannya harga BBM diharapkan mampu mendorong efisiensi penggunaan BBM tersebut yang sangat penting dalam menjaga kelangkaan sumber daya alam ini.






2. Target kebijakan






Dalam setiap kebijakan yang dihasilkan pemerintah, sudah barang tentu memiliki target dan tujuan yang diharapkan. Dalam kaitannya dengan kebijakan pencabutan subsidi BBM, pemerintah setidaknya memiliki tiga target utama yaitu:


1. Upaya pengurangan angka kemiskinan. Dengan dicabutnya subsidi terhadap BBM artinya pemerintah memiliki dana atas pengurangan subsidi tersebut. Dana tersebut lah yang digunakan pemerintah untuk pelaksanaan program pemberantasan kesiskinan. Salah satu program pemerintah adalah melalui dana kompensasi bantuan langsung tunai (BLT). Program BLT ini diberikan sebagai sebagai wujud konversi subsidi barang ke subsidi orang. Artinya jika dulunya subsidi terhadap barang ( BBM) dengan program BLT ini pemerintah mengalihkan alokasi dana subsidinya langsung ke masyarakat miskin.Upaya pemberian dana kompensasi BLT ini juga merupakan salah satu cara pemeritah untuk memastikan bahwa penerima subidi adalah masyarakat yang benar-benar miskin (tepat sasaran). Hal ini berbeda dengan subsidi BBM yang dianggap tetap dinikmati oleh orang yang berpenghasilan cukup.


2. Mengurangi defisit anggaran pada APBN akibat alokasi subsidi terhadap harga BBM yang sangat besar.


3. Dengan dinaikkannya harga BBM diharapkan terjadi efisiensi baik dari sektor industri dan konsumen rumah tangga.


Tujuan utama pemerintah dalam kebijakan pencabutan subsidi BBM adalah untuk mengurangi tingkat kemiskinan, dana yang sebelumnya digunakan untuk memberikan subsidi terhadap BBM, melalui kebijaan pengurangan subsidi BBM akhirnya dialokasikan kepada masyarakat melalui program pengentasan kemiskian yakni program BLT.






3. Evaluasi kebijakan


Untuk menilai suatu kebijakan efektif atau tidak, dilakukan melalui kegiatan evaluasi terhadap kebijakan tersebut. Evaluasi yang dimaksud disini adalah mengukur tingkat keberhasilan dari target yang hendak dicapai. Evaluasi yang digunakan disini adalah melihat secara objektif program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya dan sejauh mana tujuan-tujuan tercapai. Evaluasi ini diarahkan untuk mengetahui sejauhmana kebijakan menjawab kebutuhan atau masalah dalam masyarakat.


Dalam konteks kebijakan pemeritah untuk mencabut subsidi BBM, target utama yang diharapkan adalah angka kemiskinan dapat berkurang dengan program pemeritah melalui BLT, selain itu defisit anggaran pemeritah dapat diatasi dan diharapkan terjadi efisiensi terhadap penggunaan BBM di lingkungan industri maupun rumah tangga.






3.1. Dampak kenaikan BBM terhadap kemiskinan






Berdasarkan pola waktu, kemiskinan di suatu daerah dapat digolongkan menjadi empat bagian (Kartasamita dalam Indriyo,2008:110) yaitu pertama digolongkan sebagai persistent poverty yaitu kemiskinan yang telah kronis secara turun temurun. Daerah seperti itu pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumber daya alam atau daerah yang terisolasi. Kedua, cylical poverty yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan. Ketiga, seasonal proverty yaitu kemiskinan musiman seperti yang sering dijumpai pada kasus nelayan dan pertanian pangan. Keempat, accidental proverty yaitu kemiskinan terjadi karena bencana alam atau kebijakan tertentu yang menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.


Masalah yang dihadapi indonesia dewasa ini adalah masalah kemiskinan, masalah kemiskinan tersebut kian besar ketika muncul kebijakan pencabutan subsidi BBM yang membawa dampak yang sangat luas bagi kehidupan bermasyarakat.Dampak yang terjadi adalah meningkatnya jumlah kemiskinan baik di desa maupun di kota pasca dikeluarkannya kebijakan pencabutan subsidi BBM tersebut. 


Kalau dilihat dari keempat jenis kemiskinan seperti yang dijelaskan diatas, maka kemiskinan yang terjadi di indonesia adalah dapat kita kategorikan kepada accidental proverty yaitu kemiskinan terjadi sebagai efek dari kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah dalam hal pencabutan subsidi BBM.


Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angka kemiskinan terus meningkat pasca pencabutan subsidi BBM 2005, bertambahnya angka kemiskinan ini tersaji dengan jelas pada tabel dibawah ini


Tabel 1.2


Tabel angka kemiskinan












Februari 2005 


Maret 2006 


Perubahan 





Jumlah(juta) 




Jumlah(juta) 




Jumlah(juta) 



Kota 


11.37 


12.4 


13.36 


14.3 


1.99 


1.9 



Desa 


19.51 


22.7 


21.90 


24.8 


2.39 


2.1 



Total 


15.97 


35.1 


17.75 


39.1 


1.78 


4.1 



Sumber: BPS, 3 September 2006


Dari tabel diatas jelas terlihat bahwa telah terjadi kenaikan angka kemiskinan yang cukup signifikan, pada bulan februari tahun 2005 yaitu awal pelaksanaan kebijakan pencabutan subsidi BBM dilaksanakan, total angka kemiskinan yang ada di desa maupun kota yaitu 35,1 juta jiwa. Jumlah kemiskinan tersebut naik 4 juta jiwa atau sekitar 1,78% pada bulan maret 2006. 


Terdapat korelasi antara penerapan pencabutan subsidi BBM terhadap bertambahnya jumlah kemiskinan karena kenaikan harga BBM tersebut sangat memberatkan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Mereka tidak sanggup menahan beban kenaikan harga BBM yang berdampak langsung terhadap kenaikan harga-harga barang makanan dan barang lainnya. BLT juga dianggap tidak mampu untuk menjawab dampak buruk kenaikan harga BBM ini.


3.2 Kegagalan Dana Kompensasi BLT 


Program BLT diberikan pemerintah sebagai suatu dana kompensasi terhadap kenaikan harga BBM. Program BLT ini merupakan wujud konversi subsidi dari pemerintah maksudnya kalau sebelumnya subsidi BBM adalah subsidi pemeritah terhadap barang berbeda dengan program BLT ini yaitu subsidi yang diberikan langsung kepada orang yang membutuhkan. Diharapkan dengan program BLT ini dapat mencegah subsidi yang salah sasaran.


Sebenarnya program BLT ini juga masih banyak diperdebatkan berbagai kalangan, karena dianggap bahwa program BLT ini membuat masyarakat miskin semakin manja. Banyak kalangan yang kontra terhadap program ini mengatakan bahwa pemeritah seharusnya memberikan pancing kepada masyarakat bukan malah memberikan ikan. Maksudnya seharusnya pemerintah membentuk program padat karya yang manfaatnya jauh lebih baik dari program BLT ini.


Secara garis besar, alasan mengapa program BLT gagal dalam menjawab permasalahan adalah sebagai berikut:


1. Besaran dana kompensasi BLT sebesar Rp. 100.000 per bulan yang dihitung dengan asumsi kenaikan BBM 30% dianggap tidak cukup dalam menghadapi kenaikan beban hidup akibat naiknya harga BBM ini.


2. Penerima dana kompensasi BLT masih banyak yang tidak tepat sasaran. Hal ini disebabkan oleh perilaku masyarakat kita yang mengaku miskin hanya untuk mendapatkan dana kompensasi tersebut.


3. Daya serap BLT yang rendah. Perhitungan awal pemerintah adalah diharapkan BLT yang diberikan akan membantu terjadinya pengurangan kemiskinan dengan asumsi bahwa tidak adanya kesalahan dalam proses distribusi. Dalam prakteknya harapan pemerintah tidak sesuai dengan hasil. 






KESIMPULAN


Negara sebagai institusi penting dalam masyarakat berfungsi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, negara juga berkewajiban untuk menyediakan political goods, diantaranya jaminan keamanan dan penciptaan publik sphere bagi masyarakatnya. Adapun tujuan negara yang paling hakiki adalah menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Artinya kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan yang paling penting. Manifestasi perwujudan pelaksanaan fungsi negara itu dilakukan dengan mengeluarkan suatu kebijakan.


Kebijakan pemerintah untuk mencabut subsidi BBM yang dilakukan pada masa kepemimpinan SBY khususnya pada tahun 2005-2006 bertujuan untuk konversi subsidi barang menjadi subsidi orang, diharapkan subsidi yang diberikan tepat sasaran. Selain itu harapan besar pemerintah adalah untuk mengurangi angka kemiskinan di indonesia. Hal ini ditempuh dengan pemberian dana kompensasi BLT untuk rakyat miskin. 


Harapan untuk mengurangi tingkat kemiskinan tidak tercapai. Jumlah angka kemiskinan di Indonesia pasca dikeluarkannya kebijakan pencabutan BBM tersebut justru semakin bertambah akibat beban hidup masyarakat semakin tinggi dan dana kompensasi BLT yang diberikan pemerintah tidak mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin


Dari evalusi kebijakan tersebut dapat kita katakan bahwa negara dalam hal ini tidak efektif dalam hal melahirkan suatu kebijakan pencabutan subsidi BBM. Hal ini disebabkan oleh target pemeritah tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Tujuan kebijakan untuk mengurangi dampak kemiskinan justru malah menambah tingkat kemiskinan.






DAFTAR PUSTAKA






Indriyo, Debby Wage, 2008, Politik Harga BBM, Malang : Averroes Press.


Hidayat, Imam, Teori-teori Politik, Malang. Setara Press.


Fukuyama, Francis, 2004, State Building, Cornell University Press