KELOMPOK PENEKAN DALAM MENGANGKAT DAN MENGGULINGKAN GUS DUR SEBAGAI PRESIDEN

Pekik suara kebebasan yang dilontarkan mahasiswa dalam pergerakan untuk menjatuhkan rezim Suharto, yang dinilai telah mengekang kebebasan rakyat untuk berdemokrasi secara benar, membuahkan hasil. Aksi pergerakan massa secara besar-besaran pada tahun 1998 berhasil mendorong Suharto mundur. Krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997, yang dampaknya turut dirasakan oleh Indonesia, sehingga harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga pokok lainnya mengalami kenaikan, merupakan pangkal keinginan massa meminta Suharto mundur, disamping tekanan politik masyarakat yang menilai Suharto sangat otoriter.
Keberhasilan massa menggulingkan Suharto memunculkan banyak tokoh politik baru, yang kemudian mendirikan partai politik untuk menunjukkan eksistensinya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Tak kurang 141 partai politik terbentuk, meskipun akhirnya hanya 48 partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi dan boleh mengikuti pemilihan umum oleh Panitia pembentukan Komisi pemilihan Umum PPPKPU). Sebut saja, tokoh besar tersebut antara lain Amien Rais yang mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), Gus Dur yang mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Megawati Sukarno Putri yang mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Yusril Ihza Mahendra yang mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB).
Pemilu tahun 1999, yang merupakan pemilu pertama pasca orde baru yang dinilai banyak pihak sebagai pemilu yang demokratis, memunculkan tiga partai besar dengan perolehan suara tertinggi, yaitu PDIP sebesar 33% suara, Partai Golkar 22% suara dan PKB 11%. PAN yang dinaungi Amien Rais, yang dicap sebagai Bapak Reformasi, hanya mampu memperolah 7% suara.
Keberhasilan PDIP perjuangan memperoleh dukungan suara masyarakat dan menempatkan 30% kadernya di DPR tidak sejalan dengan keinginan Megawati pada saat itu untuk menjadikan dirinya sebagai Presiden RI ke 4 yang akan menggantikan Habibie. Kemunculan poros tengah yang berhasil mengantarkan Amien Rais menjadi Ketua MPR meskipun hanya memiliki 7% suara di parlemen. Poros tengah yang merupakan aliansi partai-partai Islam bersama PBB dan PPP yang ada di parlemen, mengangkat Gus Dur sebagai Calon Presiden yang menggantikan Habibie. Upaya yang dilakukan poros tengah berhasil, dalam pemilihan Presiden yang dilaksanakan pada 20 Oktober 1999[1]
Kemenangan Gus Dur dalam pemilihan tersebut dinilai berakibat buruk terhadap jalannya demokrasi di Indonesia. Kebijakan yang dilakukan oleh MPR bertenntangan dengan aspirasi rakyat. Menurut nalar demokrasi, selaku pemenang pemilu, mestinya Megawati menjadi Presiden, karena telah terbukti 33% rakyat memilih PDIP sebagai perwakilan mereka. Logika demokrasi tidak berlaku ketika konfigurasi kekuatan partai politik yang duduk di MPR berkehendak lain, meskipun harus mencederai demokrasi dan aspirasi mayoritas rakyat[2].
Sejak awal kemunculannya dalam dunia politik di Indonesia pasca terjadinya reformasi pada tahun 1998, seorang Gus Dur mengundang banyak kontroversial. Di awal kemunculannya sebagai anggota Legislatif (DPR RI), Gus Dur yang merupakan tokoh besar Nahdatul Ulama (NU) yang menggunakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai kendaraan Politiknya, untuk menduduki kursi parlemen. Sebagai catatan perjalanan politiknya, pada tahun 1982 Gus Dur berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, pada tahun 1987 Gus Dur menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Golkar.

Tekanan terhadap Gus Dur
Kehadiran sosok Presiden yang kontroversi di Indonesia tidak hanya berhenti pada proses pemilihannya. Dalam membentuk kabinet, Gus Dur juga kerap kali mengganti dan merombak kabinetnya. Pergantian dan perombakan kabinetnya itu dilakukan untuk memenuhi berbagai desakan yang muncul dari poros tengah, yang merupakan kelompok pendukung yang telah bersusah payah untuk menjadikan Gus Dur sebagai Presiden, meskipun harus menggeser Megawati sebagai Ketua Umum PDIP sebagai partai pemenang pemilu. Megawati hanya menjadi wakil presiden, meskipun ia sempat menolaknya, namun protes keras masyarakat terhadap terpilihnya Gus Dur sebagai presiden dan lobi-lobi yang dilakukan oleh poroh tengah dalam merangkul Mega, membuatnya luluh.
Tarik menarik kepentingan antara Gus Dur dan poros tengah sebagai pendukungnya menjadikan posisi Gus Dur goyang. Diawal kabinetnya terbentuk, Hamzah Haz, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, yang merupakan salah satu partai pendukung poros tengah, mundur dari Kabinet Gus Dur. Mundurnya Hamzah Haz juga diartikan penarikan dukungannya dari poros tengah. 
Gus Dur yang terus-menerus mengganti kabinetnya dan tidak jarang membuat kontroversi, mendapat kecaman dari kalangan DPR/MPR. Anggota parlemen yang sebagian besar terdiri dari PDIP dan Partai Golkar menghembuskan isu Brunai Gate dan Bulog Gate, sebagai bentuk perlawanan atas ketidakpuasan terhadap Gus Dur yang mengganti Laksamana Sukardi (PDIP) dari jabatan Menteri Negara BUMN dan Yusuf Kalla (Partai Golkar) dari posisi Menko Kesra.
Di luar parlemen, aksi massa yang menuntut perbaikan kondisi pemerintah juga terus-menerus dilakukan. Fuad Bawazier, yang memotori berbagai aksi menggabungkan kekuatan dari Badan Eksekutif Mahasiswa dan HMI. Dalam setiap aksi yang dilakukan, massa meminta dituntaskannya kasus Brunai Gate dan Bulog Gate yang disebut-sebut melibatkan Presiden Gus Dur. Massa yang bertindak sebagai kelompok penekan (Pressure Group) yang dalam hal ini mestinya netral dan benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, mempengaruhi kebijakan pemerintah, dan mengkritisi pemerintah secara netral[3], justru dapat ditunggangi oleh Fuaz Bawazier, mantan Menteri Keuangan di masa Orde Baru, yang ditengarai berbagai pihak sebagai orang yang ikut bertanggung jawab dalam kasus yang lebih besar dibanding Brunai Gate dan Bulog Gate, yaitu skandal Bank Bali, BLBI dan Bulog, untuk menutupi kebobrokannya[4]. 
Upaya yang dilakukan massa memperoleh hasil, untuk menyelidiki skandal yang menimpa Gus Dur, DPR membentuk Pansus Brunai Gate dan Bulog Gate. Penyelidikan oleh Parlemen ini merupakan penyelidikan pertama parlemen yang melibatkan Presiden. Meskipun pansus merupakan bentukan dan berisi orang-orang dari lembaga tinggi negara (DPR/MPR), namun Gus Dur menolak menjawab setiap pertanyaan yang berkenaan dengan Brunai Gate dan Bulog Gate, justru Gus Dur menyangkal telah berbuat salah dalam kedua kasus tersebut.
Meskipun mendapat berbagai tekanan dari aksi massa dan parlemen, Gus Dur terus melakukan manuver yang berbahaya bagi perpolitikan. Gus Dur terus mengganti kabinetnya dengan orang-orang yang masih memberikan dukungan terhadapnya. Dilain pihak, pansus menyatakan kemungkinan besar Gus Dur terlibat dalam Skandal Brunai dan Bulog Gate. DPR mengeluarkan memorandum kepada Gus Dur untuk segera menyelesaikan masalah tersebut. Tetapi, Gus Dur justru membalas memorandum tersebut dengan surat resmi yang ditujukan kepada parlemen, yang menolak tuduhan itu dan menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah[5].
Tindak lanjut terus dilakukan DPR dalam mencari kebenaran kasus yang menimpa GUS Dur. Memorandum kedua dikeluarkan dan mencancam akan melakukan sidang istimewa apabila kedua kasus tersbut tidak diselesaikan. Gus Dur mengancam akan mengeluarkan Dekrit Presiden bila MPR mengadakan Sidang Istimewa. Bahkan, ditengah pusaran masalah politik yang mellilitnnya itu, Gus Dur kembali merombak kabinetnya, serta meminta Kapolri untuk mundur dan mengancam akan segera mengeluarkan Dekrit bila lawan politinya di parlemen tidak mau berkompromi sampai batas waktu yang ditetapkan.
Di luar pemerintahan dan parlemen, aksi massa terus terjadi. Di Jawa Timur, massa pro Gus Dur sebanyak 50.000 orang berkumpul untuk menyatakan dukungannya kepada Gus Dur. Namun, aksi massa yang lebih besar justru terjadi di Jakarta, yang meminta Gus Dur untuk segera mundur dan mempertanggung jawabkan perbuatannya dalam skandal Brunai dan Bulog Gate. Jaksa Agung, Marzuki Darusman, menyatakan presiden tidak terlibat dalam kasus yang didutuhkan kepadanya, namun aksi massa yang meminta Gus Dur mmundur terus saja terjadi dan pergerakannya semakin membesar.
Di tengah berbagai desakan mundur yang datang dari parlemen dan massa yang anti terhadapnya, tanggal 23 Juli 2010, Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden, yang berisi pembekuan parlemen (DPR/MPR), percepatan pemilu selambatnya dalam 1 tahun dan pembubaran Partai Golkar. Dekrit ini dikeluarkan Gus Dur karena adanya ancaman dari Amien Rais selaku ketua MPR yang membentuk poros penyelamat, yang menyatakan akan mempercepat Sidang Istimewa apabila Gus Dur mengancam mengeluarkan Dekrit.
Mengatasnamakan kepentingan rakyat dan adanya dorongan dari kelompok massa yang anti Gus Dur, poros penyelamat bangsa yang dimotori Amien Rais, menggelar Sidang Istimewa dengan agenda mencopot Gus Dur dari jabatan presiden serta menggantinya dengan Megawati, dan sidang tersebut tidak dihadiri oleh Gus Dur. Sidang Istimewa ini terjadi setelah satu jam Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden. Sidang Istimewa seperti ini (menggulingkan presiden) merupakan kedua kalinya terjadi di Indonesia setelah sebelumnya pada tahun 1966, MPRS menolak laporan pertanggung jawaban Soekarno sebagai sebagai presiden, dan mengangkat Suharto sebagai Presiden.
Desakan massa yang berasal dari kelompok masyarakat tertentu maupun desakan kelompok yang lahir dari dalam parlemen, sering kali menjadi titik tolak DPR/MPR dalam mengambil sebuah kebijakan. 

Dari uraian di atas dapat kita amati bahwa kelompok Poros Tengah dan Penyelamat Bangsa merupakan afiliasi partai-partai politik yang berjuang sekuat tenaga untuk memperoleh kekuasaan dan atau melaksanakan kekuasaan. Sementara mereka tetap melakukan tekanan-tekanan atas kekuasaan, walaupun sebagian dari kelompok penekan itu sebenarnya mempunyai wakil-wakil di pemerintahan dan mereka adalah sebagian besar anggota legislatif. Tetapi hubungan antara individu-individu tersebut dengan kelompok yang mereka wakili tetap rahasia dan hati-hati. Kelompok-kelompok penekan ini agak sukar untuk mengklasifikasikannya dibanding dengan partai-partai politik, karena organisasi manapun, apapun bentuknya dapat dikatakan dan bertindak sebagai kelompok penekan dalam kondisi-kondisi tertentu dan dalam area tertentu pula. Merujuk pada Maurice Duverger[6], kelompok Poros Tengah dan Poros Penyelamat dapat diistilahkan sebagai “kelompok-kelompok penekan palsu”. Kelompok ini melancarkan tekanan-tekanan politik, tetapi tidak secara khusus membentuk dirinya sebagai kelompok penekan. Kelompok ini mencakup sejumlah individual yang, secara bersama-sama, membentuk suatu masyarakat kecil, individu-individu ini merupakan teknisi dan para ahli yang bekerja bukan hanya untuk diri mereka sendiri tetapi untuk orang lain atau badan tertentu. 
Sedangkan kelompok yang digerakkan oleh Fuad Bawazir, seperti kelompok massa mahasiswa, merupakan kelompok atau suatu perkumpulan yang afliliasinya dekat dengan partai politik namun tidak diakui secara terang-terangan. Bahkan hubungan tersebut dapat saja tidak diakui adanya. Dalam hal ini terlihat pula adanya partai politik yang tunduk pada suatu kelompok penekan, sehingga boleh dikatakan bahwa partai tersebut yang menjadi perpanjangan tangan dari kelompok penekan.

[2] Moh. Mahfud MD dalam Sapuan, Impeachment Presiden, 2010, hal 128
[3] Abdul Ghafar Karim dan Miftah Adhi Ikhsanto, Materi Kuliah Kajian Politik Intermediary, 2010
[6] Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok-kelompok Penekan, 1984.