NASIONALISASI DAN NASIONALISME EKONOMI

Dawam Rahardjo Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Oleh: Prof. M. Dawam Rahardjo. 
SEJAK masa sebelum kemerdekaan tahun 1945, dua tokoh proklamator, Soekarno dan Hatta, telah menulis bahwa demokrasi politik harus didasarkan pada demokrasi ekonomi. Pandangan itu sejalan dengan pandangan seorang sosialis Inggris kontemporer, Ralph Miliband, ketika menanggapi pandangan Francis Fukuyama mengenai Demokrasi Liberal dan Kapitalisme sebagai puncak pemikiran manusia dalam pengelolaan negara dan masyarakat.

Sejalan dengan pandangan dasar itu, sejak awal kemerdekaan, para pemimpin Indonesia yang duduk di pemerintahan, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjafruddin Prawiranegara, sejak awal telah mengikuti penegakan kedaulatan politik dengan penegakan kedaulatan ekonomi guna mencapai kemerdekaan politik dan ekonomi sekaligus.

Sesudah proklamasi kemerdekaan, tindakan strategis yang dilakukan dalam penegakan kedaulatan ekonomi adalah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing. Namun, ini dilakukan tidak secara total dan seketika, tetapi secara selektif dan bertahap yang dimulai dari sektor keuangan, khususnya perbankan yang menghasilkan berdirinya BI, BRI, BNI, dan BDN. Tindakan nasionalisasi secara besar-besaran baru dilakukan Bung Karno pada 1957.

Akan tetapi, tindakan tersebut ditentang oleh Sjafruddin Prawiranegara, juru bicara ekonomi Partai Masyumi, padahal ia sejak 1952 sudah ditunjuk memimpin Bank Sentral, Bank Indonesia yang dinasionalisasi dari De Javaschebank, milik perusahaan swasta Belanda. Ia berpendapat bahwa nasionalisasi total itu merupakan tindakan yang keliru besar.

Alasannya adalah, pertama, pemerintah masih membutuhkan anggaran yang besar untuk pembangunan, tetapi dana harus dikeluarkan untuk membeli saham perusahaan-perusahaan asing dalam mata uang asing sehingga juga menguras cadangan devisa yang ia kelola melalui BI.

Kedua, Indonesia masih kekurangan dana domestik sehingga harus memanfaatkan modal dari luar, tetapi modal asing yang telah masuk malah harus diusir.

Ketiga, ia meramalkan, jika tenaga-tenaga perusahaan-perusahaan asing yang profesional digantikan dengan tenaga birokrat, maka akan terjadi salah kelola (mismanagement) sehingga produksi nasional akan merosot. Sebagai alternatif yang ia lakukan di BI adalah tetap mempertahankan tenaga dari negara asing Belanda dan kelompok etnis Tionghoa yang profesional dan sejalan dengan itu ia melakukan tindakan ”Indonesianisasi” dengan mendidik tenaga-tenaga profesional.

Di luar posisinya di BI, ia bersama-sama dengan Pastor Romo Kadarman dan Anwar Harjono mendirikan Lembaga Pendidikan Manajemen (LPM) guna menyiapkan tenaga-tenaga profesional yang kelak akan melakukan ”revolusi manajemen” (managerial revolution) sebagaimana telah terjadi di Amerika Serikat sejak awal abad ke-20 guna menguasai perusahaan-perusahaan besar asing dan milik negara.

Namun, pada dasarnya ia menyetujui modal asing dan menganjurkan untuk mengundangnya, tetapi didasarkan pada Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA). Itulah yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA.

Kebijakan ini dilakukan bersama-sama dengan utang luar negeri dari lembaga-lembaga keuangan internasional secara multilateral dan negara-negara pemilik modal secara bilateral guna memperkuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada pokoknya, pemerintah Orde Baru mulai melakukan pembangunan dengan modal asing, baik di sektor swasta maupun negara.

Kebijakan dasar itu masih tetap dilaksanakan hingga sekarang. Sampai 2013, utang luar negeri sudah mencapai sekitar Rp 3.000 triliun. Realisasi POMS hingga Oktober 2013 mencapai Rp 100,5 triliun, Rp 67 triliun di antaranya adalah PMA atau dua kali lipat dari PMDN yang sebesar Rp 33,5 triliun.
Kian dominan

Analisis ekonomi dewasa ini mensinyalir kecenderungan makin dominannya peranan PMA, termasuk dalam perbankan syariah. Kecenderungan ini berlawanan arah dengan cita-cita kemandirian ekonomi atau berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi. Ekonom Mubyarto berpendapat bahwa nasionalisme ekonomi merupakan pilar ketiga Sistem Ekonomi Pancasila.

Kemandirian ekonomi tersebut diusung sebagai salah satu platform politik dalam Pemilu 2014, terutama oleh PDI-P, Gerindra, dan Nasdem, sebagai bagian dari ideologi kerakyatan sebagai transmutasi dari ideologi sosialisme.

Namun, tidak ada satu partai pun yang secara terang-terangan mengagendakan nasionalisasi karena akan menggelisahkan kekuatan modal asing dan negara-negara yang mengusung haluan pasar bebas dan globalisasi ekonomi.

Partai-partai kerakyatan tidak akan meninggalkan nasionalisme ekonomi. Hanya saja, hal itu akan dilakukan dengan model yang berbeda-beda.
Pertama, dengan memperkuat daya saing perekonomian nasional. Model ini tidak mudah untuk dilaksanakan karena syaratnya adalah menghapuskan biaya ekonomi tinggi.
Kedua, dengan mencapai kemandirian ekonomi, terutama dengan membangun ekonomi rakyat dalam usaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan BUMN.
Ketiga, pembelian saham-saham perusahaan-perusahaan asing secara berangsur-angsur.
Keempat, menguasai manajemen dengan tenaga-tenaga profesional domestik, melalui pembinaan sumber daya manusia yang berkualitas.
Kelima, dengan mencapai kedaulatan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok, terutama pangan dan energi.
Keenam, dengan memproduksi bahan-bahan baku industri dan teknologi tepat guna berbasiskan sumber daya alam.
Dan ketujuh, dengan pembentukan pasar domestik melalui peningkatan pendapatan masyarakat dan jaminan sosial yang komprehensif.

Kesemuanya itu harus dicapai berdasarkan semangat nasionalisme yang kuat. Nasionalisasi bisa pula dilakukan dengan cara lunak dan demokratis, yaitu dengan melakukan negosiasi, perjanjian-perjanjian yang dinilai bertentangan dengan UUD dan merugikan kepentingan nasional.

Prof. M. Dawam Rahardjo; Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
KOMPAS, 23 Mei 2014