KALEIDOSKOP PERKOPERASIAN INDONESIA

Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Oleh: M Dawam Rahardjo
Sejumlah tulisan lepas dan naskah pidato Bung Hatta yang telah dikumpulkan menjadi sebuah antologi dengan judul "Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun" (1951) yang isinya dapat disebut sebagai ilmu perkoperasian (cooperative science) itu secara tak disadari oleh editornya sebenarnya mencerminkan dua aliran pemikiran mengenai pembangunan koperasi di Indonesia.

Pertama adalah aliran "Membangun Koperasi" di satu pihak dan kedua aliran "Koperasi Membangun" di lain pihak.

Aliran pertama menekankan koperasi sebagai sistem ekonomi makro yang ingin membangun koperasi sebagai ideologi ekonomi Indonesia, di mana sektor koperasi jadi soko guru perekonomian nasional. Dalam aliran itu, negara berperan aktif, khususnya melalui Kementerian Koperasi dan membangun koperasi dengan regulasi yang mengacu kepada penjelasan Pasal 33 UUD 1945 dan pelembagaannya sehingga membentuk arsitektur perkoperasian Indonesia.

Arsitektur itu terdiri dari lembaga koperasi primer, sekunder, dan tersier; lembaga pendidikan insan koperasi; lembaga audit keuangan; bank koperasi; serta trading house. Tokoh aliran ini di kalangan birokrasi pemerintahan Orde Baru ialah Bustanil Arifin, yang diteruskan Muslimin Nasution dan Subiyakto Tjakrawerdaya.

Aliran kedua menganggap koperasi sebagai sistem ekonomi mikro, yaitu badan usaha yang bersaing di pasar bebas. Di sini negara bersikap pasif, sleeping state, tidak melakukan intervensi dalam membangun koperasi, misalnya menyediakan bisnis bagi koperasi. Aliran ini menekankan pada aspek spirit yang bersumber pada nilai-nilai perkoperasian universal, yaitu persaudaraan, solidaritas, tolong-menolong dan menolong diri sendiri, serta dijabarkan jadi mentalitas yang tecermin dalam prinsip manajemen koperasi, yaitu keanggotaan yang terbuka dan inklusif, manajemen yang demokratis, partisipasi aktif anggotanya dalam kegiatan berkoperasi, pendidikan anggota, penerangan mengenai koperasi, kerja sama antarkope- rasi, serta tanggung jawab sosial.

Dengan berpegang pada nilai dan menerapkan mentalitas itu, aliran ini percaya bahwa koperasi akan menjadi badan usaha dan kekuatan perlawanan terhadap sistem ekonomi pasar bebas serta mampu memberikan sumbangan besar terhadap produksi nasional dan kesejahteraan sosial. Aliran itu berorientasi pada rumusan jati diri koperasi ICA (International Cooperative Alliance). Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ibnoe Soedjono yang dilanjutkan oleh Wagiono Ismangil, Sularso, dan Asnawi Hasan.

Ketentuan konstitusi
Sungguhpun demikian, di Indonesia "usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan" yang ditafsirkan sebagai koperasi itu merupakan ketentuan konstitusi, yaitu UUD 1945, khususnya Pasal 33 Ayat 1. Karena itu, aliran universalis itu juga mengacu pada konstitusi yang menerjemahkan identitas koperasi universal ke dalam UU Perkoperasian. Hasilnya adalah UU No 17/2012 tentang Perkoperasian.

Berdasarkan strategi aliran pertama, koperasi secara kuantitatif berkembang pesat. Pada akhir masa Orde Baru (1998) unit koperasi mencapai 96.000 dengan anggota sekitar 26 juta orang. Di masa reformasi jumlah koperasi berkembang dari 103.000 dengan jumlah anggota 27 juta lebih pada 2000 menjadi 209.000 unit dengan anggota 36 juta lebih pada 2014. Namun, rata-rata anggota per unit menurun dari 265 orang pada 2000 menjadi hanya 174 orang pada 2014. Angka itu menunjukkan lemahnya semangat berkoperasi. Koperasi memang didirikan, tetapi karena program pelembagaan pemerintah dan sebagian lagi motifnya adalah memperoleh fasilitas dari pemerintah. Kredit yang disalurkan kepada masyarakat dari APBN melalui koperasi pada umumnya tak kembali atau macet karena fasilitas kredit dianggap sebagai kewajiban pemerintah sebagai bantuan kepada masyarakat bawah.

Menurut Djabaruddin Johan, koperasi kredit yang sukses di masa reformasi sebenarnya adalah lembaga rentenir berbaju koperasi. Di masa Orde Baru, kepada Koperasi Unit Desa diberikan bisnis penyaluran pupuk produksi BUMN. Ketika bisnis itu dicabut, volume usaha KUD merosot drastis, sementara di India dan Kanada koperasi mendirikan industri pupuk sendiri tanpa bantuan pemerintah.

Pada 2014 modal koperasi hanya mencapai rata-rata per unit Rp 958 juta, tetapi volume usahanya lebih rendah: Rp 906 juta. Ini menunjukkan kemampuan koperasi dalam manajemen keuangan untuk memutarkan modalnya. Rasio perputaran modal di bawah 1,0 itu mencerminkan pula kelemahan koperasi sebagai badan usaha. Dibandingkan dengan koperasi credit union (CU) yang menolak bantuan pemerintah itu, yang merepresentasikan aliran kedua, modal yang dapat dihimpun mencapai Rp 27 miliar per koperasi primer dengan anggota rata-rata 2.556 orang. Di masa Orde Baru jumlah anggota rata-rata ditargetkan 1.000 orang per Badan Usaha Unit Desa.

Walaupun jumlah koperasi menurut catatan statistik cukup mengesankan, koperasi yang aktif berdasarkan jumlah koperasi yang melakukan Rapat Anggota Tahunan (RAT) hanya berubah sedikit dari 35 persen (2000) menjadi 38 persen (2014). Tiadanya RAT menunjukkan tak aktifnya koperasi. Karena itu, volume usahanya kecil sehingga asetnya tak berkembang. Menurut kajian Suroto, sumbangan sektor koperasi terhadap PDB hanya 2 persen.

Kelemahan koperasi itulah yang dicoba diperbaiki dengan UU No 17/2012 yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014. UU itu sebenarnya ingin mempertegas koperasi sebagai badan usaha yang sehat, kuat, mandiri, dan berpotensi berkembang dalam persaingan pasar bebas tanpa intervensi pemerintah. Namun, penegasan sebagai badan hukum berdasarkan akta notaris yang didirikan orang perorangan sebagai terjemahan dari association of persons sesuai dengan definisi ICA itu, telah disalahpahami sebagai mengubah koperasi yang merupakan lembaga kolektif menjadi badan hukum yang didasarkan pada individualisme yang merupakan ciri utama kapitalisme. Dalam UU yang dibatalkan itu, koperasi bukanlah sekadar kumpulan orang, tetapi asosiasi yang memiliki personalitas atau individualitas menurut istilah Bung Hatta. Koperasi kredit juga harus berdiri sendiri secara terpisah agar bisa menerapkan prinsip prudensialitas dan efisensi seperti bank.

Guna memperkuat permodalan, UU yang dibatalkan itu membedakan antara simpanan pokok, bersama-sama dengan simpanan wajib dan sukarela sebagai tabungan dengan setoran pokok dan sertifikat modal koperasi sebagai modal koperasi yang merupakan gagasan baru itu memperkuat permodalan koperasi sendiri. CU yang menerbitkan sertifikat saham mampu memobilisasi dana sebesar Rp 5 triliun dari kalangan kelompok marginal. Namun, berdasarkan UU yang dibatalkan oleh MK itu, koperasi dewasa ini dianggap sebagai tidak memiliki modal sendiri dan hanya memiliki dana pihak ketiga menurut UU Perbankan berupa tabungan yang dianggap sebagai modal. Namun, saham sebagai modal ini dinilai sebagai ciri kapitalisme.

Dalam pengertian konvensional, koperasi adalah lembaga perkumpulan orang yang berbeda dengan badan usaha kapitalis yang merupakan kumpulan modal. Karena itu, regulasi yang bertujuan memperkuat modal koperasi dianggap sebagai simbol kapitalisme. Padahal, koperasi simpan pinjam model Raiffeisen, Jerman, adalah koperasi yang bertujuan membentuk modal guna dipinjamkan kepada petani miskin.

Sungguhpun demikian, keputusan MK dianggap sudah final dan harus dihormati. Karena itu, usaha regulasi yang dianggap mengarah kepada semangat kapitalisme yang bertujuan mempertegas koperasi sebagai badan usaha berdasarkan akta notarial dengan memperkuat permodalan koperasi akan dihindari. Karena itu, penyusun UU Perkoperasian yang baru akan sulit menemukan regulasi yang bisa jadi koperasi sebagai badan usaha yang sehat, kuat, mandiri, dan berpotensi berkembang.

*M Dawam Rahardjo; Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta