PEMIKIRAN POLITIK KONSTANTINUS AGUNG

Konstantinus Agung
Konstantinus Agung (272-337 M) lahir di Niš (sekarang Serbia) dari pasangan kaisar Konstantinus Khlorus dan Helena. Ia menguasai wilayah barat kekaisaran Roma setelah mengalahkan saingannya, Maxentius, pada perang Ponte Milvius tahun 312. Konon, sebelum pertempuran Konstantinus memandang ke arah matahari dan melihat sebuah salib di langit dengan tulisan "Εν Τουτω Νικα" ("dengan ini, taklukkanlah!", sering diartikan dalam bahasa Latin "in hoc signo vinces"). Konstantinus lalu memerintahkan seluruh pasukannya agar menandai perisai mereka dengan simbol Kristus (chi-rho, dua huruf pertama dari Χριστος) sebelum akhirnya mereka memenangkan pertempuran.
Penglihatan ini membawa dampak yang besar bagi sejarah Gereja. Sebab, kemenangan Konstantinus ini tidak hanya menunjukkan kemenangan politis, tapi juga awal berdirinya "Gereja Konstantinus". Dari sinilah Konstantinus mulai bersimpati pada jemaat Kristen dan iman mereka walaupun ia baru dibaptis menjelang kematiannya. Terlepas dari benar-tidaknya cerita tersebut, babak baru sejarah Gereja akan dimulai.
 
EDIK MILANO: Penganiayaan Berakhir
Sejak tahun 64, jemaat Kristen mengalami pengejaran dan penyiksaan di bawah pemerintahan para kaisar Romawi, terutama Nero, Decius, dan memuncak pada Diocletianus. Namun, politik penganiayaan ini ternyata terbukti gagal. Ketika jemaat Kristen ditekan habis-habisan, mereka justru berkembang semakin kuat, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Semangat heroik dan siap mati syahid (martir) merupakan inner force yang tidak terkalahkan; adalah suatu kemuliaan dapat mati karena membela iman akan Kristus.
Zaman penganiayaan ini berakhir tidak lama setelah Konstantinus Agung menjadi kaisar Barat. Pada tahun 313, bersama dengan Licinius, kaisar Timur, Konstantinus Agung menetapkan Edik Milano yang merupakan pengakuan defintif atas toleransi beragama bagi seluruh warga di wilayah kekaisaran Roma. Dalam edik tersebut dinyatakan beberapa hal: (1) warga bebas memeluk agama masing-masing; (2) warga bebas beribadah seturut agamanya; (3) segala hak milik Gereja yang telah dirampas oleh kekaisaran akan dikembalikan seluruhnya. Sekilas, Edik Milano membawa angin segar bagi jemaat Kristen. Penganiayaan diakhiri, serta eksistensi Kristianitas diakui secara resmi dan positif. Kini tidak perlu lagi ada darah tertumpah karena iman akan Kristus.
Akan tetapi, justru di sinilah masalah mulai muncul. Di satu sisi, Eusebius Caesara menekankan betapa Konstantinus Agung menjadi seorang "pahlawan". Di sisi lain, perubahan yang berbeda 180 derajat itu tentu menimbulkan kebingungan di kalangan jemaat. "Pertobatan" Konstantinus Agung rupanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan—it is just too good to be true. Semangat siap-mati-demi-Kristus yang semula menjadi resiko yang harus diterima jika seseorang beriman Kristen tiba-tiba menjadi tidak relevan (!) lagi karena situasi sudah berubah total. Mereka yang menyayangkan hilangnya semangat asal Gereja tersebut kelak pergi mengasingkan diri ke tempat yang sunyi, misalnya padang gurun, dan menjalani kehidupan askese—dari sinilah embrio tradisi hidup monastik dimulai.

KEKUASAAN GEREJA: Perkawinan Agama dan Politik
Edik Milano sesungguhnya memberikan kebebasan bagi eksistensi setiap agama di wilayah kekaisaran Roma. Namun, pada perkembangan selanjutnya, Konstantinus Agung ternyata semakin berpihak pada Gereja. Di tingkat akar rumput, agama Kristen menjadi superior dan lebih populer dibandingkan agama kafir yang lebih dulu ada. Karena tidak diperhatikan pemerintah, agama-agama ini mulai ditinggalkan warga dan secara bertahap terjadilah kristenisasi massal; walau kebanyakan bermotif politis dan akses pada fasilitas semata, sebab banyak orang Kristen yang diangkat menjadi pegawai negeri menduduki posisi-posisi strategis.Selengkapnya.......