LIBYA: PROYEK KOLONIAL TERBARU AS DAN PRANCIS

“Jika sebatang pohon tumbang di hutan tetapi tidak ada media yang memberitakannya apakah Anda percaya kalau pohon tersebut tumbang”.  Kalimat pembuka ini menggambarkan betapa antara persepsi dan fakta seringkali tidak bisa dibedakan, Begitu besar peran pers atau media lainnya dalam membentuk persepsi masyarakat dengan mengaburkan fakta yang sebenarnya, termasuk pada peristiwa krisis Libya yang sedang hangat saat ini.

Krisis Libya khususnya intervensi militer Barat yang melibatkan AS, Perancis, Inggris dan beberapa negara Eropa harus dilihat dari sudut pandang politik, agar bisa memahami hakekat peristiwa yang sebenarnya.  Setelah memahami peristiwa yang sesungguhnya sedang terjadi di kawasan mediteranian tersebut, barulah kita dapat membangun persepsi yang benar dari sudut pandang Islam.

Setiap peristiwa politik besar di kawasan Laut Tengah (mediteranian) tidak bisa dipisahkan dari persoalan Timur Tengah, dan kawasan Afrika Utara lainnya.  Daerah daerah tersebut memiliki kedudukan penting dalam kancah politik Internasional kerena terkait 4 hal :
  1. 1.    Islam dan bahayanya bagi Barat;
  2. 2.    Posisi yang strategis bagi lalu lintas perdagangan Asia, Afrika dan Eropa;
  3. 3.    Negara Israel, sebagai garda terdepan penjaga kepentingan Barat; dan
  4. 4.    Imperialisme dan kekayaan yang diperoleh dari penjajahan tersebut terutama minyak.

Bila kita menghitung kekayaan alam di kawasan ini, cadangan minyaknya saja mencapai separuh cadangan minyak dunia dan jika ditambah dengan kekayaan barang tambang lainnya, maka jumlah kekayaan alamnya setara dengan 10 kali lipat kekayaan alam gabungan AS dan Eropa.  Inilah alasan negara-negara Barat berlomba-lomba dan mau bertarung satu dengan lainnya untuk menjajah Timur Tengah dan sekitarnya.

Oleh karena itu bisa dikatakan masalah Timur Tengah dan sekitarnya adalah masalah yang paling berbahaya dan paling kompleks, Negara sebesar AS pun tidak akan mampu mengendalikan dan menyelesaikan masalah-masalah di kawasan ini sesuai dengan rencana dan keinginannya.

Untuk memahami gejolak terbaru di kawasan tersebut, penting memahami sejarah kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut, kawasan ini dahulu berada di bawah pengaruh Daulah Islam, hingga pertengahan abad 18 M.  Pada akhir abad ke 18 M, semenjak konferensi Berlin (1884), Eropa pertama kali menginvasi Timur Tengah.

Perancis, Inggris dan Italia menyerang kawasan Timur Tengah dan Afrika, perang terjadi susul menyusul hingga runtuhnya daulah Islam, Khilafah Turki Utsmani. Maka sejak itu kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara di bawah cengkeraman penjajahan Inggris dan Perancis.

Pengaruh Perancis di Timur Tengah sangat kecil sebatas di daerah Syria dan pantai sebelah barat dayanya yang sekarang disebut Lebanon, hal ini berlangsung sampai perang dunia kedua (PD II). Di akhir PD II, Perancis terusir dari kawasan Timur Tengah setelah Syria dan Lebanon jatuh di bawah pengaruh Inggris dan yang tersisa bagi Perancis hanya pengaruh parsial di Afrika Utara, yaitu Aljazair dan Tunisia.  Untuk memperkokoh kedudukannya di Timur Tengah, Inggris bergerak cepat dengan memecah wilayah Timur Tengah dan memberi sebutan “negara nasional” untuk setiap bagiannya serta menempatkan agen-agennya menjadi penguasa di “negara nasional” tadi.

Bisa dikatakan pasca PD II, seluruh Timur Tengah praktis menjadi kawasan jajahan Barat, tepatnya jajahan Inggris. Ada dua faktor yang mempengaruhi sehingga Inggris menjadi satu-satunya penjajah di Timur Tengah ketika itu:
Pertama, lemahnya Perancis secara politik, ekonomi dan internasional sehingga tidak bisa mengimbangi Inggris.
Kedua, Amerika Serikat belum keluar dari politik isolasinya (doktrin Monroe) pasca PD I.

Politik Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah pasca PD II, adalah pola bekerja sama dengan Inggris.  Keduanya sering bertemu dan bertukar pikiran membahas strategi politik dan saling berkoordinasi berbagai strategi dan taktik.  Inggris memberi toleransi kepada AS untuk menikmati sebagian kekayaan Timur Tengah, khususnya wilayah jazirah Arab.  Dalam banyak hal Inggris mendampingi AS, namun terkadang berupaya menghambat bila dianggap membahayakan kepentingan Inggris.

Namun situasi berubah secara mendasar setelah tahun 1950, AS dan Inggris yang sebelumnya saling bekerja sama dalam mengeksploitasi kekayaan Timur Tengah, kemudian saling bersaing dan terlibat konflik memperebutkan tanah jajahan di kawasan Timur Tengah ini. 

Bermula dari perbedaan pandangan atas masalah Yahudi di Palestina, AS menginginkan berdirinya sebuah negara Yahudi di Palestina, sementara Inggris masih ragu apakah mendirikan sebuah negara Yahudi dan negara Palestina sebagai dua entitas yang berbeda, atau hanya satu negara yang diperintah oleh Yahudi.  AS menginginkan adanya negara Yahudi atau Israel, sebagai sarana untuk memuluskan penjajahan di Timur Tengah, sementara Inggris ragu dan ingin mengkoordinasikan masalah negara Yahudi tersebut dengan jajahannya di negeri-negeri Arab lainnya.

Terjadilah konflik yang tajam antara Inggris dan AS, dimana AS bersikeras dan berusaha mengokohkan keberadaan Israel dan menghilangkan apa saja yang menghambat pengokohan Israel.  Termasuk dengan melibatkan PBB, yang dengan pengaruh AS, mengeluarkan resolusi no. 181 pada 19 November tahun 1947, untuk membentuk negara Yahudi atau Israel di Palestina dan pada tanggal 14 Mei 1948, David Ben Gurion memproklamirkan berdirinya negara Israel.

AS terus berusaha mengokohkan posisinya di Timur Tengah termasuk dengan rencana "Trans Arabian Pipeline" yakni membangun saluran minyak sepanjang Yordania, Syria dan Lebanon hingga Laut Tengah, sementara Inggris mencoba menghambat, dengan menggunakan pengaruhnya atas penguasa di negara-negara Timur tengah yang semuanya merupakan agen-agen Inggris. 

Keadaan ini membuat AS menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mengubah kondisi kawasan Timur Tengah adalah dengan mengobarkan revolusi-revolusi dan menempatkan penguasa-penguasa militer.  Terjadilah kudeta militer yang pertama di Syria oleh Jenderal Husni Zaim yang didukung oleh AS, namun pada tahun yang sama (1949), Husni Zaim kembali dikudeta oleh Brigjen Sami Hanawi yang pro Inggris, Syria pun kembali kepangkuan Inggris.  Syria dikuasai kembali oleh AS setelah Hafez Asad, berhasil menjadi presiden Syria melalui referendum 12 Maret 1971, maka jatuhlah Syria dibawah cengkeraman AS sampai sekarang.

Persaingan ini terus berlangsung di seluruh kawasan, kadang memanas di satu masa dan mereda di masa yang lain, sampai akhirnya AS berhasil mengambil tongkat pengendalian di Timur Tengah.  Inggris menjadi lemah dan tidak bisa menghadapi AS secara terbuka. Namun Inggris masih terus memainkan peranan politiknya agar bisa memelihara jajahannya, sekalipun parsial dengan mengikuti rencana-rencana AS, seperti yang dilakukan dalam perang teluk di Irak dan di Libya sekarang.

Atas dasar inilah dapat dikatakan konflik Timur Tengah dan Afrika Utara pasca perang dunia ke dua, terfokus pada faktor AS dan Inggris.

Adapun berkaitan dengan Libya, AS tidak pernah bisa masuk kesana bahkan AS tidak bisa melakukan kegiatan politik di sana. Pengaruh Inggris terus bertahan, maka dapat dikatakan Libya belum pernah terlibat konflik antara Inggris dan AS.

Sampai akhirnya AS dengan bantuan Perancis dan Liga Arab, berhasil mempengaruhi Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi no. 1973 (18/3/2011) tentang “zona larangan terbang” dan “semua langkah yang diperlukan” untuk melindungi warga sipil Libya, khususnya pemberontak di kota Benghazi yang diserang oleh pasukan Gaddafi.

Hanya dalam hitungan jam setelah resolusi 1973 tersebut, Obama menyetujui operasi militer di Libya. Ratusan rudal Tomahawk AS di tembakan, pesawat Perancis dan Inggris meraung-raung di langit Libya mengempur pertahanan pasukan Gaddafi.

AS memperoleh kesempatan emas merebut tanah jajahan baru di Libya.

Timur Tengah memang sedang bergolak saat ini, di mulai dengan Tunisia dan disusul Mesir, kemudian Libya, Syria dan Yaman.  Bahkan negara kecil seperti Bahrainpun penguasanya menghadapi persoalan serupa.

Namun agak berbeda dengan peristiwa di Tunisia dan Mesir, yang berawal dari ketidak puasan masyarakat atas kondisi negara yang buruk dan kenaikan harga pangan.  Lantas masyarakat bergerak menuntut perubahaan sehingga terjadi demo besar di ibu kota Tunis atau Kairo yang akhirnya menggulingkan pemerintahan Ben Ali dan Husni Mubarok.

Demonstrasi yang terjadi di Libya justru bermula dari kota Benghazi, yang jaraknya 1.000 km dari ibu kota Tripoli.  Sementara ibu kota Tripoli terlihat aman-aman saja, siaran langsung Metro TV memperlihatkan bagaimana warga Tripoli di siang hari tetap melakukan aktivitas seperti biasa dan menikmati suasana laut tengah walaupun di malam hari mereka ketakutan karena serangan pesawat sekutu dilakukan hampir setiap malam.

Anehnya lagi sebelum bentrokan antara pasukan pemerintah dengan pemberontak semakin membesar, sampai-sampai Gaddafi menggunakan senjata berat dan pesawat tempurnya.  Suasana Libya sudah dipanas-panasi oleh berita-berita yang tendensius dengan gambaran kekacauan dan suasana yang mencekam termasuk di kota Tripoli.  Berita-berita tersebut dibantah oleh warga setempat, termasuk mahasiswa Indonesia yang belajar di Libya. Salah satunya dari pelajar Indonesia, Hendi Nugraha, yang menceritakan apa yang terjadi di Libya ketika itu.

Senin, 21 Februari 2011
Senin malam 21 februari 2011 diberitakan bahwa beberapa daerah di Libya seperti Fashloum, Tajuuro, Suuq Jum’ah dll dibombardir militer. Saat itu juga, teman saya mahasiswa asal Pakistan menelepon beberapa kenalannya yang tinggal di saerah-daerah tersebut. Dan ternyata kata mereka, tidak ada apa-apa disana. Nahnu naaimuun,, maa fisy haajah,, maa fisy syai (kami pada tidur,, tidak ada apa-apa disini).. kata mereka.

memang kenalan yang di Fashloum mengatakan bahwa sempat terdengar suara tembakan dan setelah itu kembali tenang. Selasa siangnya, ‘amiid kuliah memberitahu kami bahwa memang ada beberapa orang tidak dikenal yang melepaskan tembakan di Fashloum dengan motif yang belum diketahui, wallahu a’lam.
  
Selasa, 22 Februari 2011
Beberapa media memberitakan bahwa sepanjang hari selasa 22 februari 2011, para demonstran penentang Gaddafi di Tripoli ditembaki militer baik melalui helikopter ataupun melalui jet tempur (dibombardir..???) sehingga mayat-mayat bergelimpangan dan tidak ada satupun yang mampu menolong mereka yang terluka karena militer terus melepaskan tembakan.

Wallahi, sepanjang hari selasa tersebut saya sama sekali tidak mendengar suara tembakan ataupun helikopter dan pesawat jet, kecuali beberapa suara tembakan ke udara dan kembang api yang ditembakkan sebagai respon atas seruan Gaddafi menjelang maghrib kepada para pendukungnya untuk memenuhi jalan-jalan Libya untuk menunjukkan pada dunia bahwa rakyat masih mendukungnya.<p> </p>Tidak seperti beberapa pemberitaan yang menyebutkan bahwa sepanjang selasa malam militer masih menembaki para penentang Gaddafi di Tripoli, padahal malam itu jalan-jalan Tripoli dipenuhi pendukung Gaddafi. Jadi mana mungkin militer menembaki mereka.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk membela Gaddafi karena diserang oleh pasukan sekutu. Gaddafi adalah seorang diktator yang dzalim dan kriminal, dia telah membunuh rakyatnya sendiri sepanjang ia berkuasa. Diktator agen Inggris ini tidak layak dipertahankan kedudukannya.

Namun kita juga harus memiliki pandangan yang tepat tentang tujuan serangan sekutu ini, sesungguhnya operasi militer Sekutu ke Libya adalah satu persekongkolan jahat negara Imperialis, khususnya AS dan Perancis yang berusaha menguasai kekayaan minyak Libya, dan menendang Inggris yang selama ini menikmati jarahannya sendirian.

Oleh karena itu penting bagi muslim memperhatikan beberapa point berikut :
  1. Intervensi militer Barat ke negeri muslim adalah sebuah tindakan kriminal.  Pemimpin Barat tidak bisa dipercaya. Barat memiliki sejarah panjang mengejar kepentingan kolonial di bawah kedok intervensi kemanusiaan, kebebasan, hak asasi manusia dan melindungi rakyat dari penguasa mereka. Intervensi di Sierra Leon, Irak, Somalia dan Afghanistan menyebabkan perang berkepanjangan dengan kematian warga sipil yang banyak akibat serangan pasukan militer Barat - yang berada di sana jelas-jelas untuk alasan sebuah misi perdamaian atau pembebasan.
  2. Argumentasi kemanusiaan untuk melindungi warga sipilpun telah kehilangan pijakan. Bukankah selama ini negara Barat yang mendukung pemerintahan diktator  tersebut, mempertahankan kekuasaan mereka agar dapat mengeruk kekayaan alamnya,  menjual senjata pada mereka yang sekarang digunakan untuk membunuhi rakyatnya sendiri ?
  3. Untuk membebaskan diri dari tirani Gaddafi, penduduk Libya tidak membutuhkan intervensi militer Barat dengan alasan apapun.  Intervensi tentara muslim dari negara tetangga Libya, seperti Mesir, cukup untuk menghentikan Gaddafi dengan cepat.  Mesir memiliki 839 pesawat tempur dan pasukan darat yang besar.
  4. Khilafahlah yang sangat dibutuhkan kaum muslimin saat ini, karena tanpa Khilafah penjajahan di Timur Tengah dan negeri muslim lainnya tidak akan pernah selesai.  Hanya berpindah dari tangan penjajah yang satu kepada penjajah yang lain.
Nb: baca juga catatan "Pelajaran Berharga dari Gaddafi untuk Pemimpin Negeri Muslim, Termasuk Indonesia" [SUMBER]