PERANG HIBRIDA DAN AMBISI IMPERIUM RUSIA

[Opini KOMPAS, 23 Desember 2014] 
Saya ingin Anda semua paham. Negara kita akan tetap melindungi hak-hak orang Rusia, kompatriot kita di luar negeri, dengan menggunakan segalanya yang ada, di gudang senjata kita. Vladimir Putin

WAJAH Vladimir Putin yang dingin terlihat semakin beku. Sewaktu dia mengucapkan ”kaum ultranasionalis militan bangkit lagi di Ukraina”, sorot matanya menatap tajam ke arah deretan diplomat Rusia yang berkumpul di Moskwa malam itu. ”Jutaan etnisitas Rusia dalam bahaya, jauh dari perbatasan tanah airnya,” kata Presiden Rusia itu dengan suara bergetar.

Pertemuan antara Putin dan seluruh diplomatnya itu berlangsung hanya beberapa pekan setelah Rusia menganeksasi Crimea, semenanjung cantik di tepi Laut Hitam yang merupakan wilayah kedaulatan Ukraina. Di tengah kecaman dunia, Putin merasa perlu berbicara langsung kepada para wakilnya di luar negeri bahwa tindakan Kremlin menguasai Crimea adalah benar, atas nama melindungi minoritas Rusia di Ukraina.

Dalam proses pencaplokan Crimea—dan juga sebelumnya wilayah Abkhazia dan Ossetia Selatan, wilayah kedaulatan Georgia pada 2008—Putin selalu menyebut dua hal: bangkitnya kaum ultranasionalis, dan melindungi etnisitas (berbahasa) Rusia, di negara itu. Dua ”mantra” inilah yang sukses gilang-gemilang ketika Kremlin merebut Crimea, yang oleh Putin disebut sebagai ”Pegunungan Kuil Suci” bangsa Rusia.

PERANG HIBRIDA
Konstantin Sivkov, pensiunan perwira pada Staf Umum Militer Rusia (1995-2007), mengatakan, jargon yang diteriakkan Putin kemudian diadopsi militer Rusia merupakan strategi yang disebut perang hibrida. Seperti dikutip majalah Time edisi 15 Desember 2014, Sivkov yang kini mengepalai tim pemikir militer Moskwa menjelaskan bahwa perang hibrida adalah kombinasi antara propaganda, diplomasi, dan penggunaan kekuatan militer—bahkan pasukan komando—untuk memasuki teritori negara lain dengan menyamar sebagai milisi lokal.

Menjelang direbutnya Crimea, Kremlin memang menggunakan strategi perang hibrida ini dengan memasukkan pasukan komandonya, menurut analis militer Barat, untuk menguasai gedung parlemen dan pemerintahan di Sevastopol dan Simferopol, dua kota jantung Crimea.

Moskwa selalu mengklaim bahwa orang-orang tegap bersenjata lengkap itu adalah milisi keamanan lokal, tetapi seluruh perlengkapan, sulit disangkal, adalah khas pasukan komando Rusia. ”Untuk menjalankan perang hibrida, Anda membutuhkan pasukan pemberontak di dalam negeri yang ditarget, yang biasa disebut juga sayap kelima (fifth column), sebuah kekuatan yang menyiapkan dukungan untuk invasi pasukan asing,” kata Sivkov.

Sayap kelima inilah yang kemudian menjadi inti kekuatan Kremlin mendestabilisasi wilayah Ukraina timur, terutama di tiga teritori kunci pusat industri berat, Donetsk, Luhansk dan Kharkiv. Gerakan yang disokong penuh Kremlin ini bertujuan melepaskan diri dari kekuasaan Kiev dan membentuk apa yang disebut Novorossiya atau Rusia Baru. Kaum pemberontak di Donetsk bahkan sudah menyatakan membentuk Republik Rakyat Donetsk.

Sejauh ini, perang hibrida yang dilancarkan Rusia di Ukraina terbilang sukses. Kiev sendiri terjepit di antara problem kedaulatan yang diinjak-injak dan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap energi gas Rusia. Dengan kombinasi utang yang menggunung kepada Kremlin, Kiev benar-benar hanya menggantungkan nasibnya pada belas kasihan Barat, negara-negara Uni Eropa, dan Amerika Serikat untuk bertahan hidup.

Perang di Ukraina timur sejak Maret 2014, antara sayap kelima yang disokong penuh oleh Kremlin dan militer Kiev, sejauh ini telah menelan sedikitnya 4.800 jiwa dan ratusan ribu warga lainnya harus mengungsi.

UNI EURASIA
Moskwa paham benar, Ukraina yang ingin bergabung dengan blok Barat secara ekonomi harus dicegah kalau perlu dengan keras. Membuat Ukraina timur dalam kondisi krisis sepertinya merupakan ”permainan perang” Kremlin memaksa Kiev tetap berada dalam genggaman Rusia dalam persekutuan Uni Eurasia, blok ekonomi pimpinan Moskwa menyaingi blok Uni Eropa.

Uni Eurasia ini merupakan mimpi besar Putin membangkitkan lagi kejayaan Imperium Rusia. Sejauh ini Moskwa sudah mampu mengikat Belarus dan harus merebut Ukraina yang bersikukuh bergabung dengan blok ekonomi Uni Eropa.

Krisis Ukraina tak ayal membuat sejumlah negara di dekatnya, terutama di kawasan Baltik, juga khawatir. Sejarah mencatat kebijakan luar negeri Kremlin yang agresif sangat sulit ditebak. Namun, sinyal agresi pasukan ”Beruang Merah” tampaknya jelas ditiupkan ketika Moskwa secara sengaja melakukan ratusan sortie penerbangan di atas wilayah pantauan NATO, serta menggerakkan ribuan tentara di sekitar perbatasan Estonia, Latvia, dan Lituania. Tiga negara Baltik anggota NATO ini punya cukup banyak warga etnisitas Rusia, faktor yang bisa menjadi alasan Kremlin melakukan intervensi militer.

Tidak seperti Ukraina yang belum bergabung dengan NATO, trio Baltik, Estonia-Latvia-Lituania, merupakan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara sejak mereka memerdekakan diri dari Uni Soviet pada 1991. Di bawah Article 5 NATO, mereka mendapat perlindungan militer penuh untuk menangkal agresi Rusia.

BARAT TETAP ANCAMAN
Meski demikian, mereka tetap resah dengan peningkatan aktivitas militer Rusia dan ambisi teritorial negara adidaya itu. Setelah gagal memenuhi komitmen anggaran pertahanan dengan NATO, trio Baltik mulai menyadari bahwa Rusia, tetangganya yang perkasa, telah menaikkan 50 persen anggaran militernya untuk melawan hegemoni NATO.

Negara-negara Barat sendiri seakan tak menyadari fenomena ini. Setelah Perang Dingin, konsentrasi mereka terpusat pada penangkalan terorisme, terutama setelah tragedi 11 September. Di lain pihak, Rusia tetap melihat Barat sebagai ancaman, baik ekonomi maupun militer. Menurut Sivkov, Doktrin Militer Rusia yang dirilis pada 2010 mengatakan bahwa ekspansi NATO tetap menjadi ancaman paling serius bagi Rusia.

Di bawah kepemimpinan Putin, seluruh kekuatan bangsa dikerahkan untuk menangkal ekspansi tersebut. Perang hibrida yang mereka lakukan terhadap Ukraina hanyalah salah satu dari upaya penangkalan itu sekaligus tetap menjaga mimpi mewujudkan kembali Imperium Rusia. 
Oleh: Anton Sanjoyo, Wartawan Kompas