MENGISI KEMERDEKAAN

[OPINI KOMPAS] Ketika kemerdekaan RI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Bung Karno sudah mengatakan bahwa kemerdekaan yang telah dicapai pada waktu itu barulah sebuah kemerdekaan politik, yang makna konkretnya adalah merdeka dari penjajahan.

Proklamasi kemerdekaan pada hakikatnya adalah sebuah declaration of independence yang belum berarti tercapainya kondisi kemerdekaan atau kebebasan, yaitu kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan (dalam arti negatif) serta kebebasan berekspresi dan berserikat (dalam bentuk positif). Namun, kemerdekaan itu punya arti penting karena merupakan, sebagaimana kata Bung Karno, ”jembatan emas”: kesempatan menuju masyarakat adil dan makmur. Secara implisit terkandung makna bahwa masyarakat adil dan makmur adalah sebuah kemerdekaan ekonomi yang dapat dicapai melalui pembangunan.

Namun, sejak dini pula Sutan Sjahrir, pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI), melihat gejala belum penuhnya kemerdekaan politik. Ia melihat kecenderungan berkembangnya pemerintahan yang otoriter dan kolektivisme yang ditandai gejala sistem partai tunggal, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dipimpin dwitunggal Soekarno-Hatta.

Kemerdekaan ekonomi
Rektor UP45
Maklumat Wakil Presiden No X/1946 adalah semacam pernyataan kemerdekaan kedua yang menghasilkan sistem politik parlementer multipartai. Namun, ketika itu pun, secara politik RI baru merdeka secara de facto,baru merdeka secara de jure. Setelah pengakuan kedaulatan dari hasil Konferensi Internasional Meja Bundar, 29 Desember 1949, ketika RI memperoleh pengakuan kemerdekaan penuh, karena mendapat pengakuan internasional, selesailah perang bersenjata dan diplomasi.

Syafruddin Prawiranegara, ketika menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir III, menerbitkan uang kertas yang disebut OERI atau Oeang Republik Indonesia. Ini merupakan langkah awal kemerdekaan ekonomi karena perekonomian Indonesia terbebas dari uang Jepang dan uang NICA yang diterbitkan oleh kekuatan sekutu asing.

Langkah kedua kemerdekaan ekonomi timbul dari Wakil Presiden Hatta, yang menugaskan Margono Djojohadikusumo mendirikan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Indonesia. Namun, Bank Negara Indonesia (BNI) yang dibentuk ketika itu (1946) masih kekurangan modal, belum mampu berfungsi sebagai bank sentral. Secara de facto maupun de jure, Bank Sentral Indonesia masih De Javaschebank, bank swasta Belanda.

Setelah De Javaschebank dinasionalisasi di masa Kabinet Sukiman (1952), ketika itu menterinya Jusuf Wibisono dari Masyumi, terjadi langkah kedua kemerdekaan ekonomi, seperti dikatakan tokoh perbankan di masa revolusi, A Kamim. Namun, oleh Bung Karno, RI secara ekonomi dianggap belum merdeka juga karena masih dikuasai neokolonialisme karena perekonomian Indonesia masih dikuasai perusahaan asing, Belanda.

Langkah ketiga kemerdekaan ekonomi terjadi pada 1957 ketika dilakukan nasionalisasi total terhadap perusahaan asing. Sungguhpun begitu, oleh Bung Karno, Indonesia dianggap masih belum merdeka juga. Melalui Manifesto Politik-nya ia menyatakan bahwa ”revolusi belum selesai”. Ketika meraih kepemimpinan kembali dalam kabinet presidensial dalam rangka kembali kepada UUD 1945 pada 1959, ia melaksanakan program ”revolusi nasional demokrasi”, yang membongkar sisa-sisa feodalisme dan imperialisme menuju sosialisme Indonesia.

Dapat disimpulkan, bagi Bung Karno, kemerdekaan penuh Indonesia dapat dicapai ketika telah memasuki tahap sosialisme. Namun, rumus kemerdekaan ketika itu oleh Bung Karno didasarkan pada tiga sendi kemerdekaan, Trisakti, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

Sebenarnya rumus kemerdekaan itu sudah tertulis lebih komprehensif dalam Mukadimah UUD 1945, yaitu terwujudnya negara RI yang ”merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur”, yang bisa dimaknai bahwa kemerdekaan itu didukung empat pilar: kedaulatan, persatuan, keadilan, dan kemakmuran. Dalam anak kalimat itu, merdeka berarti tegaknya Trisakti.

Dalam pengertian liberalisme politik John Rawls, kebebasan adalah pilar utama dari keadilan. Sebaliknya, keadilan adalah syarat kebebasan. Tanpa keadilan, tak ada kebebasan, suatu rumus- an yang bisa menjelaskan pengertian keadilan dalam Mukadimah UUD 1945 sebagai salah satu pilar kemerdekaan.
Di Indonesia istilah kemerdekaan mengandung konotasi positif. Adapun kebebasan yang merupakan nilai utama liberalisme politik itu mengandung makna pejoratif karena dipahami dalam konteks kapitalisme.

Kapabilitas SDM
Di zaman kontemporer ini, makna positif kebebasan dapat dijelaskan dengan teori filsuf India, Amartya Kumar Sen. Menurut dia, kebebasan mengandung dua arti. Pertama well-being freedom, yaitu kondisi yang mengandung peluang untuk memilih yang terbaik tanpa pencegahan atau hukuman. Kedua, agency freedom, yaitu kapabilitas untuk merealisasikan diri.

Reformasi awal abad ke-21, melalui proses demokratisasi, Indonesia memasuki proses penciptaan kondisi kebebasan. Namun, di lain pihak timbul gerakan radikal yang menggunakan kekerasan dan terorisme dalam mencapai tujuan sehingga menciptakan ketakutan terhadap ancaman kekerasan.
Lahir pula politik identitas yang, menurut Sen, telah melahirkan kekerasan terutama oleh mayoritas terhadap minoritas. Akhir-akhir ini telah timbul aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen.

Kemiskinan, menurut Sen, adalah kondisi yang menghambat perkembangan kapabilitas. Dari sudut pandangan lain, belum adanya kapabilitas mengelola sumber daya alam yang kaya adalah kondisi bahwa bangsa Indonesia belum merdeka di bidang ekonomi dengan indikator penguasaan modal asing. Ketergantungan pada impor kebutuhan pokok, khususnya pangan dan energi, juga menunjukkan belum merdekanya perekonomian Indonesia.

Dengan demikian, kemerdekaan, sebagai kebebasan modern dalam arti kebebasan individu maupun kolektif bangsa Indonesia, dalam makna positif perspektif Sen, harus dicapai melalui pembangunan kapabilitas sumber daya manusia, atau pemberdayaan ekonomi nasional atau ekonomi rakyat. Perspektif kemerdekaan Indonesia pada abad ke-21 ini harus dilakukan melalui pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. [Sumber]

*M Dawam Rahardjo,  Rektor Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta

======================
Artikel terkait
M. Dawam Rahardjo
Opini Kompas Cetak